TEMPO.CO, Jakarta - Epidemiolog Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono menilai langkah pemerintah menerapkan hukuman merenung di dalam peti mati bagi pelanggar protokol kesehatan tidak efektif menekan kesadaran masyarakat. "Hukuman itu bukan untuk semua. Lebih baik beri hukuman yang standarnya sama," kata Tri saat dihubungi, Senin, 7 September 2020.
Tri menuturkan hukuman sanksi kerja sosial bisa dijatuhkan jika denda tidak bisa dibayar pelanggar protokol kesehatan. Sanksi sosial, kata dia, tidak bisa hanya meminta pelanggar membersihkan jalan atau drainase dengan hitungan waktu.
Hukuman dengan hitungan waktu itu, menurut Tri, harus diubah dengan ukuran jarak atau panjang jalan yang dibersihkan. Jika tak bisa membayar denda lebih baik diminta membersihkan jalan sepanjang satu kilometer. “Itu keliatan sanksinya."
Ketua Ombudsman DKI Jakarta Teguh Nugroho meminta Pemerintah DKI menghentikan hukuman tambahan merenung di dalam peti mati bagi pelanggar protokol kesehatan. Menurut Teguh, sanksi berupa memasukan pelanggar protokol penggunaan masker ke dalam peti mati tidak pantas.
"Saya rasa tidak patut memakai peti jenazah untuk menghukum orang," kata Teguh melalui pesan teks, Ahad, 6 September 2020.
Teguh melihat hukuman memasukan orang ke dalam peti mati justru berisiko menularkan virus corona karena peti mati itu banyak digunakan orang yang melanggar protokol kesehatan untuk menjalani hukuman.
"Apakah tidak ada metode lain yang mengurangi risiko penularan?” Meski didisinfektan, tidak menjamin tidak terjadi penularan Covid-19.