TEMPO.CO, Jakarta -Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disingkat DPRD DKI Jakarta Pantas Nainggolan mengatakan besaran pemberian sanksi pidana berupa denda yang termaktub dalam Perda Penanggulangan Covid-19 alias Perda Covid-19 akan ditentukan lewat proses pengadilan.
Menurut dia, yang diatur dalam Perda Covid-19 tersebut hanyalah besaran maksimal sanksi pidana denda. “Ancaman pidana denda yang kita cantumkan adalah maksimal. Tidak bisa lebih. Kalau kurangnya itu terserah kepada pertimbangan hakim,” ujar dia di Gedung DPRD DKI pada Senin, 19 Oktober 2020.
Seperti diketahui sebelumnya, dalam rapat paripurna hari ini Raperda tentang Penanggulangan Covid-19 telah disahkan menjadi Perda. Di dalamnya terdapat aturan sanksi pidana bagi masyarakat yang melanggar sejumlah hal terkait pemberantasan Covid-19.
Baca juga : DPRD DKI Sepakat Sahkan Perda Penanggulangan Covid-19
Berdasarkan salinan perda yang Tempo terima, ketentuan pidana diatur dalam Bab X. Di dalamnya, diatur pemberian sanksi pidana bagi masyarakat yang menolak menjalani tes PCR, tes cepat, atau pemerikssaan penunjang lainnya yang diselenggarakan oleh Pemprov DKI, menolak dilakukan pengobatan atau vaksinasi Covid-19, dengan sengaja dan tanpa izin membawa jenazah berstatus probabel atau konfirmasi positif dari fasilitas kesehatan.
Pemberian sanksi pidana keduanya dipukul rata maksimal Rp 5 juta. Adapun bagi yang melakukan larangan-larangan tersebut disertai dengan kekerasan maka diberi pidana denda maksimal Rp 7.500.000.
Menurut Pantas, pada prakteknya nanti denda yang diberikan kepada pelanggar bisa saja lebih sedikit dari aturan maksimal. Penentuan besaran itu, kata dia, tergantung pada putusan hakim. “Bisa saja melihat situasi, hakim mungkin tidak menghukum apa-apa. Membebaskan, bisa. Bisa juga melihat kondisi mungkin hanya Rp 50 ribu,” tutur dia.
Dengan telah disahkannya Perda Covid-19, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ke depannya akan membuat aturan pelaksana dalam bentuk peraturan gubernur.