TEMPO.CO, Jakarta - Wali Kota Bogor Bima Arya menjelaskan kepada penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri mengenai kronologi pimpinan Front Pembela Islam atau FPI, Rizieq Shihab dirawat di Rumah Sakit (RS) UMMI Bogor hingga Satgas COVID-19 membuat laporan ke Polresta Bogor. "Seluruhnya ditanyakan lagi mulai pertama kali saya mendengar informasi Habib Rizieq dibawa ke Bogor sampai meninggalkan Rumah Sakit UMMI," kata Bima seusai menjalani pemeriksaan di Bareskrim, Jakarta, Senin, 18 Januari 2021.
Ketua Satgas COVID-19 Kota Bogor itu dimintai keterangan sebagai saksi pelapor dalam kasus dugaan menghalang-halangi penanganan wabah penyakit menular di RS UMMI Bogor, Jawa Barat. “Ada belasan pertanyaan.”
Ia juga menjelaskan pernyataan yang dianggapnya bohong dari pihak RS UMMI Bogor, terutama mengenai status medis Rizieq yang sempat positif COVID-19. "Hal-hal yang disampaikan oleh pihak rumah sakit yang ternyata setelah didalami informasi itu tidak benar."
Baca: Resmikan RS Lapangan, Bima Arya Cari Tempat Isolasi Lain untuk Situasi Terburuk
Rizieq diketahui menjalani tes swab yang dilakukan oleh tim dari MER-C di RS UMMI secara diam-diam pada 25 November 2020. RS UMMI menyatakan Rizieq tidak terpapar COVID-19.
Setelah dua pekan kemudian baru diketahui bahwa Rizieq sempat terpapar COVID-19. "Satgas baru menerima laporan kondisi Habib Rizieq positif itu per 16 Desember.” Sedangkan Rizieq berada di RS UMMI pada 25 November. “Harusnya real time atau langsung.”
Satgas COVID-19 Kota Bogor kemudian melaporkan Dirut RS UMMI Andi Tatat ke Polres Bogor pada 27 November 2020 karena RS UMMI dinilai tidak transparan dan tidak kooperatif saat diminta memberikan penjelasan mengenai hasil swab Rizieq.
Dalam kasus ini, polisi telah menetapkan tiga tersangka, yakni Rizieq Shihab, Direktur Utama RS UMMI Andi Tatat dan menantu Rizieq, Muhammad Hanif Alatas. Ketiganya disangka dengan pasal berlapis.
Mereka terancam Pasal 14 Ayat 1 dan 2 UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dengan ancaman enam bulan hingga satu tahun penjara. Pasal 14 dan atau Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana tentang menyiarkan berita bohong dan menerbitkan keonaran dengan ancaman pidana 10 tahun penjara.
"Serta Pasal 216 KUHP yakni dengan sengaja tidak mengikuti perintah yang dilakukan menurut UU atau dengan sengaja menghalangi tindakan pejabat menurut UU, dengan ancaman empat bulan penjara," kata Kepala Bagian Penerangan Umum Humas Polri Komisaris Besar Ahmad Ramadhan, menanggapi laporan Bima Arya.