TEMPO.CO, Jakarta - Anggota DPRD DKI Jakarta Gilbert Simanjuntak menilai Pemerintah Provinsi atau Pemprov DKI masih lemah dalam melakukan penelusuran kontak atau tracing selama pandemi Covid-19.
Penelusuran yang rendah ini mengakibatkan jumlah tes atau testing yang tinggi jadi tak berarti.
"Dalam penanggulangan Covid-19 ini, Jakarta mengutamakan 3T, tapi lebih dominan testing dan gembar-gembor melebihi standar WHO, padahal testing harus diikuti tracing," kata politikus PDIP itu dalam keterangannya di Jakarta, Rabu, 3 Maret 2021.
Baca juga: Anggota DPRD DKI Minta Keluarganya Dapat Vaksinasi Covid-19
Gilbert menjelaskan kemampuan pelacakan
Covid-19 di Jakarta belum ideal dan terkesan tidak terbuka. Bahkan ia menyebut datanya hanya dimunculkan pada Mei 2020 dengan angka 1:3, yakni dari satu kasus positif dilakukan penelusuran pada tiga orang yang berhubungan.
Idealnya, kata Gilbert, penelusuran adalah di angka 1:33 seperti di negara maju, yakni Korea Selatan dan Taiwan yang menggunakan 3T (Testing, Tracing dan Treatment) sebagai cara mengatasi pandemi.
"Idealnya adalah 1:33, sementara data DKI hanya pernah muncul sekali 1:3 di Mei 2020. Selain itu testing juga banyak duplikasi data karena tidak ada cleansing. Orang bisa berkali-kali dites, artinya tracing rendah," ujar Gilbert.
Selain itu, Gilbert juga berpendapat tingginya kasus di Jakarta selama pandemi Covid-19 ini juga karena berpolemik dengan pemerintah pusat. "Lebih banyak berpolemik dengan pusat sehingga energinya habis untuk hal ini," kata Gilbert.
Menurut mantan Wakil Ketua Ketua Regional South East Asia Regional Office International Agency for Prevention of Blindness WHO ini, Pemprov DKI juga lemah dalam mengawasi protokol kesehatan sehingga muncul banyak klaster pasar hingga perkantoran selama setahun pandemi Covid-19 merebak di Jakarta. "Pengawasan yang tidak ketat dan banyak komunitas, seperti di pasar yang tidak taat protokol kesehatan, juga masyarakat yang kumpul-kumpul di lingkungan, pinggir jalan," kata Gilbert.