Dari pemeriksaan dokumen DKI, BPK menemukan tiga indikasi bahwa pelaksanaan proyek tidak memadai. Pertama, isi kerangka acuan kerja (KAK) dan dokumen kontrak kurang lengkap, tepat, serta akurat.
Maksudnya jumlah lokasi pemasangan jaringan internet antara yang tertera di KAK dan kontrak berbeda. Nilai kontrak kapasitas internet itu berkisar Rp 1,33 juta hingga Rp 222 juta untuk 2-2 ribu Mbps.
Indikasi kedua bahwa Diskominfotik tidak memiliki data dan aplikasi yang dapat memantau kapasitas bandwidth internet di seluruh titik lokasi pemasangan jaringan. Dari hasil wawancara BPK dengan PT TI, perusahaan itu memang tidak menyediakan aplikasi untuk memantau bandwidth internet.
"Jaminan tercapainya penyediaan bandwidth internet hanya dilakukan di awal bulan yang ditunjukkan atau dibuktikan dengan laporan capture bandwidth internet PT TI. Laporan capture bandwidth internet tidak diberikan kepada Diskominfotik karena bukan bagian hak dan kewajiban yang ada di kontrak," demikian penjelasan BPK.
Indikasi ketiga, Diskominfotik tidak pernah melakukan analisis kebutuhan kapasitas bandwidth internet di seluruh titik lokasi pemasangan jaringan internet.
Kepada BPK, Diskominfotik menerangkan, dasar pengalokasian bandwidth disesuaikan dengan permintaan user atau hasil evaluasi multi router traffic grapper (MRTG) di lokasi pemasangan internet. Sayangnya, Diskominfotik tidak mencatatnya dalam laporan analisis kebutuhan.
Selanjutnya hasil uji petik bandwidth di 500 lokasi