TEMPO Interaktif, Jakarta: Pendapatan pajak air bawah tanah di DKI Jakarta jauh di bawah target. "Pada 2008, pendapatan pajak air bawah tanah hanya Rp 56,180 miliar, padahal targetnya Rp 80 miliar," kata Sarasi Timur Tampubolon, Kepala Bidang Peraturan dan Penyuluhan Pajak Daerah Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda) DKI Jakarta, Selasa (3/2).
Menurut peneliti teknik lingkungan Universitas Firdaus Ali, Ahad lalu, penyedotan air tanah secara berlebihan menyebabkan permukaan tanah di Ibu Kota semakin turun. Menurut data Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah, jumlah penyedotan air tanah 21 juta meter kubik setiap tahun. Namun, menurut Firdaus, jumlah air tanah yang disedot mencapai 320 juta meter kubik per tahun. Padahal, batas aman penyedotan hanya 38 juta meter kubik per tahun.
Kendati air tanah mengalami penyedotan secara berlebihan, pendapatan pajak air bawah tanah ternyata masih jauh di bawah target. Itu tidak hanya terjadi pada 2008, tapi juga pada 2007. "Pendapatan pajak air bawah tanah hanya Rp 58,834 miliar, dengan target pendapatan yang sama," ujar Sarasi. Pada 2009, kata dia, sebelum ada ketentuan kenaikan air tanah dari pemerintah, target pendapatan pajak ditetapkan Rp 80 miliar.
Sarasi mengungkapkan kondisi ini bisa disebabkan pengguna air bawah tanah sudah banyak yang berpindah menggunakan air dari Perusahaan Air Minum. Selain itu, kata dia, hal ini juga bisa disebabkan banyaknya wajib pajak yang tidak melapor penggunaan air bawah tanah sehingga tidak membayarkan pajaknya.
Ketika ditanya apakah ada indikasi penggunaan air bawah tanah aktual yang lebih besar daripada data pendapatan pajak yang dikonversi dengan penggunaan air tanah, Sarasi menjawab, "Itu dimungkinkan."
Sarasi menambahkan mengenai pengawasan penggunaan air tanah berlebihan atau melebihi batas dilakukan oleh Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah. "Namun, kami berharap adanya kesadaran masyarakat untuk melaporkan penggunaan air tanah," kata dia.
EKA UTAMI APRILIA