TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Pusat melalui Kementerian PUPR memberikan hibah berupa jalan nasional senilai Rp 217 triliun kepada Pemprov DKI Jakarta. Jalan yang dihibahkan itu akan jadi aset daerah.
Dilansir dari Antara, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan infrastruktur yang dibangun oleh Kementerian PUPR menggunakan APBN tidak selamanya menjadi milik pemerintah pusat.
Setiap tahun, kata Sri Mulyani, barang milik negara atau BMN yang telah dibangun dengan APBN akan dihibahkan ke pihak yang memiliki tanggung jawab untuk kemudian memanfaatkan BMN tersebut dengan baik.
Menurut Sri Mulyani penyerahan BMN ke pemda atau kementerian/ lembaga bukan berarti aset yang dihibahkan itu turun dari sisi kualitas, melainkan dipindahkan kepemilikannya.
"Memang jalan itu lebih relevan dari sisi apakah trafik dan fungsinya dikelola oleh pemda dan itu kemudian dihibahkan oleh Pak Basuki ke pemda seperti yang terjadi pada tahun ini, di mana Kementerian PUPR melakukan hibah yang sangat besar kepada DKI dalam bentuk jalan raya," ujarnya, Rabu, 7 Desember 2022.
DPRD DKI minta Pemprov optimalkan penerimaan pajak
Menanggapi pemberian hibah jalan dari pusat ke Pemprov DKI itu, Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Ida Mahmudah meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengoptimalkan penerimaan pajak.
Dengan adanya hibah jalan nasional, kata Ida, akan menambah aset milik Pemprov DKI Jakarta yang otomatis akan menjadi kewajiban DKI Jakarta untuk merawatnya.
"Saya pikir kalau pajak itu tidak bocor, kemudian sesuai harapan, seharusnya bisa teratasi ya, seperti pajak parkir dan segala macam," kata Ida, Kamis, 8 Desember 2022.
Baca: Pemprov DKI Hotmix Jalan Rasuna Said yang Rusak Berlubang Gara-gara Proyek LRT
Bagaimana dengan biaya perawatan jalan setiap tahun?
Ketua Komisi Bidang Pembangunan DPRD DKI itu menjelaskan dengan hibah jalan nasional dari pemerintah pusat ke Provinsi DKI Jakarta, mau tidak mau pemda harus memikirkan tugas baru untuk perawatan setiap tahun.
Namun menurut Ida, Pemprov DKI Jakarta kemungkinan aka kesulitan dalam pengelolaan jalan nasional yang ada di Jakarta karena belum memiliki gambaran berapa besaran anggaran yang harus disiapkan setiap tahunnya.
Terlebih, anggaran yang disiapkan DKI Jakarta untuk perawatan dan pemeliharaan seluruh jenis jalan di Jakarta tahun 2023 sekitar Rp 400 miliar lebih, menurutnya masih kurang untuk bisa mengakomodir kebutuhan perawatan dan pemeliharaan jalan di seluruh Jakarta.
"Walaupun juga sudah ada beberapa anggaran yang memang untuk perawatan jalan protokol, tapi memang kalau bicara maksimal atau tidak, ya tidak bisa maksimal karena ini beban baru, tugas baru. Tapi mau tidak mau ya memang harus kita anggarkan, dan kalau bicara kurang dana itu ya kurang," ucapnya.
DKI punya kewenangan lebih luas untuk mengatur sistem jalan di Ibu Kota
Meski demikian, Ida menyebut hibah aset jalan nasional bagi DKI tersebut merupakan kabar baik bagi Pemprov DKI Jakarta, pasalnya kini pengelolaan seluruh jalan di Jakarta sehingga pemerintah daerah memiliki kewenangan lebih luas dalam mengatur sistem jalan di Jakarta.
Sementara sebelumnya, Pemprov DKI Jakarta tidak bisa melakukan perbaikan misalnya untuk lubang jalan yang ada di jalan nasional karena akan menjadi temuan dan catatan Badan Pengawas Keuangan (BPK) karena bukan merupakan kewenangan DKI Jakarta.
"Sebelumnya, kan kita harus koordinasi dulu sama pusat, karena kalau kita kerjakan sendiri akan dapat catatan dari BPK. Dan enaknya sekarang rusak ya menjadi tanggung jawab kita, tidak perlu lagi ada prosedur surat menyurat, itu yang pasti. Tapi ya memang karena kesediaan anggaran, mau tidak mau ya memang harus kita kerjakan dan memang harus menjadi perhatian kita," ucapnya.
Tak berpengaruh menurunkan tingkat kemacetan
Meski memiliki keleluasaan, Ida menilai hibah jalan nasional pada Jakarta tidak akan berpengaruh besar kepada penyelesaian kemacetan di Jakarta, mengingat banyak faktor yang menjadi penyebabnya seperti ketersediaan dan tingkat kenyamanan fasilitas transportasi Jakarta, implementasi aturan, hingga kebiasaan masyarakat Jakarta.
"Kemacetan ini kan banyak faktor ya dari ketersediaan transportasi massal, penerapan aturan yang belum maksimal seperti ETLE, ganjil genap dan lainnya, sampai dengan faktor kebiasaan di mana masyarakat Jakarta termasuk saya, harus merubah kebiasaan jika hanya berjarak satu dua kilometer harusnya bisa jalan saja," ucapnya.
"Namun itu lagi-lagi terkait penyediaan fasilitas pejalan kaki yang nyaman seperti diperbanyak pohon di jalan agar teduh, tapi sekarang kan tidak. Ini harus jadi kerja bersama sih agar bisa selesai masalah kemacetan Jakarta," tutur Ida menambahkan.
Baca juga: Perubahan 22 Nama Jalan Jakarta oleh Anies Baswedan Masuk Pansus, Pemerintah DKI Jalan Terus