TEMPO.CO, Jakarta - Transportasi publik disebut masih punya banyak masalah yang menjadi keresahan penggunanya. Think Hub Jabodetabek menggelar diskusi publik untuk membahas keresahan itu. Acara digelar di Perpustakaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek), Jakarta Pusat, pada Sabtu, 4 November 2023.
Diskusi publik ini terbagi menjadi dua sesi. Pertama, sesi forum diskusi kelompok yang dibagi menjadi tiga kelas; masyarakat umum, gender, dan disabilitas.
Sesi ini dipantik oleh tiga narasumber di tiap kelasnya: Harits Kamaluddin, pendiri Menemukenali; Yuri Muktia, Program Officer Jakarta Feminist; dan Rina Prasarana Ketua II Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI).
Selanjutnya sesi kedua adalah bincang-bincang bersama dua narasumber, yaitu Sekretaris Jenderal Dewan Transportasi Kota Jakarta Adrianus Satrio Adi Nugroho, dan Senior Urban Planning, Gender, and Social Inclusion Associate Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Deliani Poetriayu Siregar.
3 Perspekif Keresahan Pengguna Transportasi Publik
Harits, pemantik di kelas masyarakat umum menyebut jika masalah transportasi publik bukan hanya soal teknis. Menurut dia, setidaknya ada tiga permasalahan transportasi publik jika dilihat dari perspektif masyarakat umum sebagai pengguna.
Pertama operasional, misal soal keamanan, jarak antar waktu, moda, pelayanan. Kedua, taktikal. Ketiga, transportasi publik erat hubungannya dengan (langkah) strategis di level kebijakan bahkan politis.
Menurut dia, orang yang mobilitas dengan kendaraan pribadi tidak bisa dicap sebagai orang yang tak mau naik transportasi publik. Mungkin, kata Harits, "Karena ada permasalahan yang membuat seseorang tidak bisa menikmati transportasi publik itu."
Yuri menambahkan dari perspektif gender. Ia menilai serius isu gender dalam konteks transportasi publik. "Perempuan sepenuhnya belum punya ruang aman. Misalnya di-catcalling, itu banyak ditemui (di transportasi publik) dan justru dinormalisasi," ujar Yuri.
Ia mengatakan, bahwa banyak korporasi transportasi publik yang ada belum punya standar operasional perihal pencegahan kekerasan seksual. Yuri juga menyinggung soal kebutuhan perempuan yang belum terakomodir.
Dia mencontohkan ruang laktasi, pembalut gratis, gerbong khusus perempuan. "Perlu ada yang mengakomodir," katanya. Yuri mengklaim penyebabnya karena mayoritas pemangku kepentingan belum merepresentasikan tiap kelompok termarjinalkan itu ketika menyusun kebijakan.
Bus Transjakarta dan kereta MRT melintas di area halte integrasi CSW di Jakarta, Senin 28 Maret 2022. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengajukan tarif integrasi pada transportasi publik Transjakarta, MRT dan LRT sebesar Rp10 ribu untuk durasi tiga jam. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Keresahan serupa juga diserukan oleh Rina, pemantik diskusi di kelas penyandang disabilitas. Ia mengatakan bahwa masih banyak kaum disabilitas yang masih resah jika menggunakan transportasi publik. "Saya juga tunanetra. Banyak sekali resahnya, bahkan sejak mau ke luar rumah," kata dia.
Ia menilai akan banyak penyandang disabilitas yang berani memakai transportasi publik untuk mobilitas jika aksebilitasnya tersedia. Termasuk jika tersedia petugasnya yang terlatih, infrastruktur baik, kebijakan mendukung (penyandang disabilitas), serta ada jaminan terhindar dari tindak kriminal.
"Petugas yang bekerja di transportasi publik juga perlu dilatih secara berkala dari segi pemahaman orientasi dan komunikasi dengan penyandang disabilitas."
Masalah dalam Menyusun Kebijakan Transportasi Publik
Rina mengatakan bahwa pengguna transportasi publik seharusnya dilibatkan juga ketika pemangku kepentingan membuat kebijakan. Mulai dari tahap perencanaan hingga evaluasi dan monitoring. "Tak hanya penyandang disabilitas, dari gender juga perlu dilibatkan," ujar Rina.
Sekjen Dewan Transportasi Kota Jakarta, Adrianus Satrio Adi Nugroho, mengatakan bahwa terbentuknya kebijakan itu selalu melewati proses yang berliku. Ia menyebut, tak jarang ada pro dan kontra ketika menyusun sebuah kebijakan. "Dari dulu Jakarta ini push and pull policy. Butuh keberanian dari pemimpin untuk ambil kebijakan," ujar Adrianus.
Ia juga menilai jika strategi komunikasi pemerintah masih kurang baik. Karena itu, ia meminta kepada pengguna transportasi publik untuk terus menyuarakan keresahannya agar pemerintah paham.
Sementara itu, Senior Urban Planning, Gender, and Social Inclusion Associate Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Deliani Poetriayu Siregar menyebut jika dalam proses pembuatan kebijakan untuk transportasi publik ini masih ada praktik tebang pilih di tahap implementasi.
Deliani menambahkan ada unsur politis juga dalam penyusunan kebijakan terhadap transportasi publik ini. "Kaitan dengan penerimaan publik, bagi politisi, kebijakan yang dia buat bisa saja berisiko karena terjadi di masa kepemimpinannya," ucapnya.
Pilihan Editor: Video Viral Stasiun Kereta Cepat Halim Bocor, KCIC: Itu Stasiun LRT