TEMPO.CO, Jakarta - Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali alias Gus Muhdlor mengatakan kedatangannya ke gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK untuk memenuhi panggilan penyidik.
Gus Muhdlor masih harus menjalani pemeriksaan oleh penyidik KPK setelah istirahat Salat Jumat. "Intinya kami berusaha memberikan keterangan yang seutuh-utuhnya, sebenar-benarnya," katanya saat ditemui di Gedung KPK, Jumat, 16 Februari 2024.
Bupati Sidoarjo itu berkata pemeriksaan hari ini diharapkan menjadi pembelajaran agar tata kelola pemerintah lebih baik, tranparansi, serta pelayanan prima kepada masyarakat. "Kooperatif dan semoga ini jadi awal untuk kebaikan Sidoarjo," ucapnya.
Ahmad Muhdlor Ali tidak bisa membeberkan materi pemeriksaan karena belum selesai. "Jam satu nanti ulang lagi, lanjut lagi, maka mungkin nanti dari penyidik yang bisa menyampaikan," kata dia.
Pemeriksaan Bupati Sidoarjo Ditunda Usai Pemilu, IM57+ Nilai KPK Tidak Profesional
Ketua Indonesia Memanggil Lima Tujuh atau IM57+ Institute, M. Praswad Nugraha menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK tidak profesional karena menunda pemeriksaan Bupati Sidoarjo, Ahmad Muhdlor Ali alias Gus Muhdlor.
Ditundanya pemeriksaan Muhdlor setelah pemilu, Praswad menilai lembaga antirasuah itu telah secara berani mengaitkan proses penegakan hukum dengan kontestasi pemilu. Menurut dia, keputusan itu justru membuat masyarakat menilai KPK tidak netral.
"Terlebih hal itu dilakukan berurutan dengan peristiwa kejanggalan dalam penanganan kasus korupsi pasca OTT di Sidoarjo dan deklarasi dukungan dari bupati terhadap calon presiden tertentu," katanya dalam keterangan tertulis, dikutip Tempo pada Kamis, 8 Februari 2024.
Dia juga menilai KPK tidak profesional dengan menunda pemeriksaan Bupati Sidoarjo yang belakangan mendeklarasikan dukungannya ke paslon nomor urut 02, Prabowo-Gibran.
Menurut dia, semestinya KPK harus tegak lurus berada di rel penegakan hukum, bukannya ikut masuk dalam rel politik. Padahal, katanya, KPK pernah menangani kasus di saat masa pemilu, yang disebut sarat terjadinya transaksi akibat tingginya biaya politik.
"Bayangkan apabila KPK sebagai lembaga percontohan malah berbuat sebaliknya, bagaimana lembaga penegak hukum lainnya yang berkoordinasi langsung dengan presiden dapat mencontoh," ucapnya.
KPK telah menggelar operasi tangkap tangan atau OTT di Sidoarjo pada Kamis, 25 Januari 2024.
Dalam OTT itu, tim penyidik KPK telah melakukan penggeledahan di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur pada Selasa, 30 Januari 2024. Penggeledahan dilakukan di Pendopo Delta Wibawa, Kantor BPPD, hingga rumah Bupati Sidoarjo.
Tim penyidik kemudian menemukan barang bukti berupa berbagai dokumen dugaan pemotongan dana insentif. "Ada juga ada bukti lain alat elektronik dan 3 unit mobil di rumah kepala BPPD," ucap Ali Fikri, 1 Februari lalu di kantornya.
Penyidik juga menemukan sejumlah uang, termasuk dalam bentuk mata uang asing. Namun, KPK belum bisa mengumumkan nominal uang yang ditemukan karena harus memeriksa barang bukti itu lebih lanjut.
"Kami harus konfirmasi dulu. Kaitannya uang itu untuk apa? Apakah nanti juga dilakukan penyitaan, dan seterusnya. Jadi ditunggu dulu," ucapnya.
Mengenai dugaan penemuan atribut capres-cawapres di rumah bupati, Ali menyatakan belum menerima informasi tersebut. "Mengenai temuan uang, betul, tapi soal atribut saya malah tidak terinfo," katanya.
Dalam OTT di Sidoarjo tersebut, KPK menahan satu tersangka pada 25 Januari lalu. Tersangka itu adalah Siska Wati, Kepala Sub Bagian (Kasubag) Umum BPPD Pemkab Sidoarjo. KPK menyita uang tunai sekitar Rp 69,9 juta dari dugaan pemotongan dan penerimaan uang sekitar Rp 2,7 miliar pada 2023.
Pilihan Editor: Laporkan Film Dirty Vote ke Polisi, Ketua Foksi Mengaku Simpatisan Prabowo-Gibran