TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK Pahala Nainggolan tidak setuju apabila ada screening awal terhadap calon menteri yang bakal menjabat di era pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Padahal, cara itu pernah dilakukan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat hendak menjabat periode pertamanya.
"Ngapain gitu-gituan, zalim lho. Orang distabilo (ditandai sebagai orang berpotensi korupsi)," kata Pahala di Gedung Merah Putih, Selasa, 23 April 2024.
Pahala mengatakan, menandai orang sejak awal bakal melakukan tindak pidana korupsi merupakan kesalahan, karena dapat memicu kemarahan pihak yang tertuding. "Gua dulu ngikutin (era Jokowi) menstabilo orang, banyak yang ngamuk lho," kata Pahala.
Menurut Pahala, tindakan itu pun bisa mengarah ke tindak pidana karena menuduh tanpa dasar. Alih-alih menscreening sejak awal, kata Pahala, lebih baik langsung lakukan penyelidikan jika memang terindikasi. "Kalau memang ada bukti ambil, jangan menduga-nduga, nasib orang lho ini," kata Pahala.
Selain itu, lanjut Pahala, yang bisa dilakukan pemerintahan selanjutnya pun harus tegas kepada para menterinya untuk menyerahkan LHKPN. Hal itu pun sudah disampaikan KPK melalui rekomendasi kepada para capres yang berisi delapan poin. “Kalau dia instansinya, kementeriannya enggak mencapai 100 persen (kepatuhan) LHKPN-nya tegur menterinya. Kalau menterinya enggak (sampaikan) copo," katanya.
Pahala mengatakan, hal itu sebagai pendapat pribadinya. Namun, ia meyakini pimpinan KPK yang baru pun akan menyetujui pendapatnya itu. "Gua yakin pimpinan yang baru nanti nggak tertarik juga," kata Pahala.
Presiden Jokowi saat terpilih pada Pilpres 2014 pernah menyerahkan sejumlah nama calon menteri ke KPK dan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) untuk dicek rekam jejaknya. Total ada 43 nama untuk mengisi 33 pos menteri saat itu.
Pilihan Editor: Motif Pembunuhan Perempuan yang Mayatnya Ditemukan di Pulau Pari karena Korban Minta Harga Lebih