TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Biro Humas Kementerian Hukum dan HAM, Hantor Situmorang, menyatakan 13 pegawai Rumah Tahanan (Rutan) Kelas IIB Kupang, Nusa Tenggara Timur, terbukti melakukan pelanggaran disiplin. Pelanggaran itu mencuat setelah Ombudsman Republik Indonesia (ORI) perwakilan Nusa Tenggara Timur mengungkap praktik pungutan liar alias pungli di sana.
"Berdasarkan hasil pemeriksaan Kepala Rutan, terbukti 13 orang pegawai melakukan pelanggaran disiplin," ujar Hantor kepada Tempo, Sabtu, 8 Juni 2024.
Hantor menyebut, Kepala Rutan Kelas IIB Kupang masih terus mendalami keterlibatan 13 pegawai dan peran masing-masing. Namun, 13 orang tersebut dikatakan telah dikenakan sanksi pelanggaran disiplin mulai dari tingkat ringan sampai sedang.
Tak ada kejelasan bentuk sanksi yang diterima para pegawai Rutan Kelas II B Kupng tersebut. Hantor menyatakan pemberian sanksi masuk ranah Kepala Rutan. Kemenkumham lewat Kepala kantor wilayah (Kakanwil) NNT, menurut dia, hanya sebatas memerintahkan pemeriksaan.
Perintah pemeriksaan itu, menurut Hantor, dilakukan di hari yang sama saat mereka menerima laporan dari Ombudsman, Jumat, 7 Juni 2024. Lebih lanjut, dia menyatakan pihaknya masih perlu mendalami peran dari masing-masing pegawai. Termasuk siapa yang terbukti tidak meneruskan surat perpanjangan penahanan. Atau apakah surat tersebut sudah sampai di Rutan, namun pihak Rutan tidak melaksanakannya. "Siapa melakukan apa, siapa bertanggung jawab apa harus diurai dulu," ujar dia.
Temuan Ombudsman ini didapat dari informasi eks warga binaan Rutan Kelas BII Kupang. Kepala Perwakilan Ombudsman NTT, Darius B Daton, mengatakan pungli itu bertujuan untuk membebaskan tahanan yang tengah menjalani proses hukum.
Caranya, para petugas membantu agar perintah surat perpanjangan penahanan tidak sampai ke bagian pelayanan tahanan Rutan Kelas II B Kupang. Dengan begitu, tahanan bisa bebas demi hukum karena tidak ada lagi lembaga yang berwenang menahan. Dari praktek itu, menurut Darius, para petugas rutan itu menarik pungli berkisar Rp 2 juta - Rp 40 juta.
"Modus ini berlangsung bertahun-tahun. Ada yang sudah bayar, tapi surat keputusan perpanjangan penahanan masih keluar," ujar Darius, dikutip dari Antara, 7 Juni 2024.