TEMPO.CO, Jakarta - Seperti hari-hari biasanya di Gili Meno, seorang pengusaha lokal, Kamri, membuka restorannya yang sederhana. Tapi di balik itu, ia menghadapi suatu masalah yang telah berlangsung selama empat bulan, yaitu krisis air yang berdampak pada operasional bisnisnya.
“Kalau permasalahannya sih enggak sulit ya, enggak berat. Hanya soal air,” ujar Kamri ketika ditemui Tempo di Gili Meno, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Sabtu, 17 Agustus 2024. Selama hampir satu dekade, kebutuhan air bersih di Gili Meno dipenuhi oleh PT Berkat Air Laut (BAL), sebuah perusahaan pengelola air yang dipercaya oleh penduduk setempat.
“PT BAL ini sudah memberikan satu pelayanan air yang bagus, baik untuk kami semua yang ada Gili Meno, termasuk pengusaha dan masyarakatnya,” katanya. Kendati demikian, itu semua berubah ketika tiba-tiba PT BAL harus menghentikan operasinya karena dianggap melanggar aturan terkait penggalian air tanah.
“Terkait dengan hukumnya kami tidak mau masuk (terlibat) di situ, tetapi hak kami sebagai konsumen jangan diabaikan,” ujar dia. Penutupan inilah yang mengakibatkan krisis air yang berkepanjangan. Kini, pasokan air datang dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Namun, Kamri mengakui, jumlahnya sangat terbatas dan sangat jauh dari harapan.
“Air diangkut menggunakan boat, dan dengan banyaknya penginapan serta restoran, pasokan itu jelas tidak bisa mengcover semua,” keluh Kamri. Menurut dia, masyarakat saja kesulitan mendapatkan air, apalagi usaha-usaha seperti restoran yang membutuhkan air dalam jumlah besar setiap harinya.
Kamri menggambarkan bagaimana dampak langsung dari krisis air ini terasa. Beberapa wisatawan mancanegara bahkan membatalkan kunjungan mereka ke Gili Meno setelah mendengar berita tentang kekurangan air di pulau itu. “Mereka sudah sampai di Gili Trawangan atau Gili Air, tetapi tidak jadi ke sini setelah mendengar kabar itu,” katanya.
Tak hanya merugikan usaha kecilnya, krisis air ini juga dikhawatirkan Kamri dapat berdampak buruk pada citra pariwisata Gili Meno di mata dunia. “Kami khawatir begitu berita ini sudah mendunia, atau sampai ke Eropa, tentu akan membuat satu dampak yang akan buruk untuk wisata kami.”
Sebagai bentuk protes, Kamri dan warga setempat bahkan melakukan aksi ke DPRD, berharap pemerintah daerah bisa menawarkan solusi yang lebih baik. Namun, hingga kini, menurut Kamri, yang mereka dapatkan hanyalah janji-janji. “Dengan alibi yang sekarang mereka mengantarkan kami air lewat PDAM dengan cara diangkut oleh boat pakai tong-tong besar gitu dengan kapasitas yang tidak cukup."
Kamri sendiri, yang memiliki restoran dan beberapa penginapan kecil, terpaksa mencari solusi alternatif. Ia membeli air galon dari pedagang yang membawanya dari Lombok. “Harganya 12 ribu hingga 15 ribu per galon, tergantung apakah mereka juga menuangkan air itu ke tangki saya,” katanya. Dengan kondisi seperti ini, ia harus memastikan air cukup, baik untuk usahanya maupun keluarganya.
Dengan kurang lebih 260 kepala keluarga di Gili Meno dan ratusan penginapan, Kamri merasa pasokan air yang ada saat ini masih jauh dari cukup.
Saat ini, Gili Meno sedang dalam musim ramai atau high season, dengan banyaknya wisatawan yang datang pada bulan Juli dan Agustus. Kamri khawatir, jika masalah air ini tidak segera ditangani dengan baik, keluhan para wisatawan akan menjadi pukulan besar bagi usaha pariwisata di pulau itu.
Melalui mediasi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Direktorat Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah V akhir pekan lalu, Kamri berharap aspirasinya serta warga Gili Meno lainnya dapat didengar oleh pihak berwenang. “Supaya diperhatikan oleh pihak-pihak yang berkewajiban untuk memenuhi apa yang menjadi kebutuhan masyarakat Gili Meno,” ucap dia.
Kamri menjelaskan bahwa masyarakat di Gili Meno tidak memiliki sumber air tawar alami, sehingga mereka sangat bergantung pada air hasil olahan. Dengan sistem tersebut, selama bertahun-tahun mereka hidup dengan nyaman dan aman. Namun, kondisi itu kini telah berubah.
Untuk saat ini, Kamri berharap pemerintah daerah segera menemukan solusi yang lebih baik sebelum dampak dari krisis air ini semakin meluas dan mengancam keberlangsungan hidup dan usaha masyarakat di Gili Meno.
Pilihan Editor: KPK Ungkap Indikasi Banyak Pendapatan Daerah yang Hilang dari 3 Gili di Lombok