TEMPO.CO, Jakarta - Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) menilai bahwa seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Capim KPK) periode 2024-2029 dinodai oleh peserta dari internal KPK sendiri.
PBHI kemudian mengungkap tiga alasan mengapa lembaganya berpendapat demikian. Pertama, Presiden Joko Widodo dan DPR RI mengawali periode keduanya dengan target membunuh KPK secara terang benderang melalui 3 upaya nyata.
“Revisi UU KPK yang mengebiri KPK, menunjuk Komisioner KPK yang korup dan bobrok, san memecat Pegawai dan Penyidik yang berintegritas dan berprestasi luar biasa,” tulis PBHI dalam keterangan tertulis, Ahad, 8 September 2024.
PBHI menjelaskan, fakta ini kemudian menghasilkan malapetaka berupa instansi pemberantas korupsi yang justru korupsi. Mulai dari Pimpinan, Dewan Pengawas, Pegawai, bahkan Penyidik yang korupsi. “Sebut saja, Firli, pungli di Rutan KPK, penyidik Stephanus Robbin, dan lain-lain yang akhirnya bolak balik diperiksa atas pelanggaran etik KPK.”
Kedua, Presiden Jokowi telah menggunakan KPK sebagai alat politik untuk menekan oposisi, sementara kasus-kasus yang melibatkan keluarganya tidak mendapatkan perhatian atau tindakan yang sama. Mulai dari kasus bantuan sosial atau bansos yang melibatkan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka; Kasus Blok Medan yang menyeret menantunya, Bobby Nasution; dalam kasus korupsi Gubernur Maluku Utara hingga kasus dugaan penerimaan gratifikasi jet privadi yang menyeret putra bungsunya, Kaesang Pangarep.
Ketiga, Presiden Jokowi disebut telah memanfaatkan ‘boneka’ dari internal KPK, yakni Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron untuk mengotak-atik UU KPK lewat gugatan ke MK yang kemudian pertimbangannya jadi cikal bakal Putusan MK Nomor 90.
Menurut PBHI, terdapat masalah mendasar pada tingkat pimpinan internal KPK, khususnya terkait kapasitas dan integritas. Korupsi telah meningkat ke tingkat yang lebih tinggi dan memerlukan gerakan sosial serta reformasi progresif untuk penanganannya.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa internal KPK kini menjadi bagian dari regulasi, sistem, dan budaya yang korup, sehingga tidak mungkin efektif dalam menjalankan fungsi pemberantasan korupsi maupun memperbaiki kondisi sistemik yang buruk.
“PBHI mencatat setidaknya 2 komisioner dan 1 deputi yang bermasalah dan wajib untuk dicoret oleh Pansel KPK,” tulis PBHI. “Selain perilaku buruk dan korup, juga ditemukan fakta bahwa sedang menghadapi masalah hukum yang akan berdampak pada fungsi pemberantasan korupsi.”
Pilihan Editor: Mantan Anggota Pansel Kritik Seleksi Capim KPK 2024: Integritas Tidak Jadi Pertimbangan Nomor Satu