TEMPO.CO, Jakarta - Kuasa hukum korban perundungan SMA Bina Nusantara atau Binus School Simprug tidak terima dengan penyebutan perkelahian untuk mendefinisikan tindak kekerasan yang diterima RE di toilet sekolah. Pihak korban atau pelapor menolak pembelaan yang disampaikan kuasa hukum terduga pelaku yang mengaku bahwa pemukulan di toilet berdasarkan perjanjian.
Kuasa hukum RE, Sunan Kalijaga, sangat menyayangkan bahwa dari pihak Binus School Simprug maupun pihak kuasa hukum dari anak-anak terduga pelaku yang menyebut kejadian tersebut adalah perkelahian. “Pertanyaan saya, anak-anak kita ini di Binus ini mau sekolah atau mau ke arena tanding perkelahian atau tinju?” kata Sunan Kalijaga usai sesi Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi III DPR pada Selasa, 17 September 2024.
Pihak pelapor meyakini tindakan kekerasan itu sebagai pengeroyokan dengan menggambarkan ulang bagaimana situasi RE ketika dibawa ke toilet. “Posisinya dia (RE) di tengah diapit oleh orang kanan-kiri dan di belakangnya ada 3 orang lagi yang bersama-sama menuju ke kamar mandi. Mau ngapain?” kata Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga beralasan bahwa posisi orang yang menyetujui duel seharusnya bersiap dengan memasang kuda-kuda. Sementara korban, menurut Sunan Kalijaga, justru menundukkan wajah. Atas dasar itu tidak logis bagi Sunan Kalijaga bahwa korban RE menyetujui kesepakatan duel apalagi menantang duluan.
“Terlihat jelas siapa yang bilang tadi bahwa anak ini sepakat berkelahi dan bahkan anak ini yang menantang berkelahi siapa? Pihak sekolah dan pihak pengacara pelaku,” kata Sunan Kalijaga. Pihak pelapor mengatakan akan terus melanjutkan proses hukum karena merasa sesi Rapat Dengar Pendapat justru digunakan untuk membangun opini publik yang tidak sesuai fakta.
Pilihan Editor: Modus TPPO ke Kamboja, Korban Diiming-imingi Kerja di Perusahaan atau Restoran dengan Gaji Besar