Aksi warga merupakan respon atas penerbitan Surat Perintah Bongkar yang dikeluarkan Walikota Jakarta Barat pada tanggal 5 Februari lalu. Surat itu memerintahkan warga untuk membongkar rumah mereka atau ditertibkan secara paksa.
Surat perintah dibuat karena telah terjadi kesepakatan antara warga dengan pihak yang mengaku sebagai pemilik tanah. Bahkan, sebanyak 180 kepala keluarga mengaku telah menerima uang penggantian atas tanah dan bangunan.
Tapi penjelasan itu dinilai Robik mengada-ada. Sebab, kata dia, pihak Kelurahan Duri Kepa menjelaskan bahwa tanah tersebut hingga kini belum memiliki keterangan resmi yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional.
Menurut Robik, rumah yang telah mereka tempati merupakan tanah garapan yang telah dihuni oleh ratusan warga lebih dari 30 tahun silam. Wilayah ini dulunya merupakan tanah terlantar berupa empang dengan kedalaman air lebih dari 1,5 meter.
Alasan itulah yang membuat warga menolak untuk membongkar hunian mereka. “Kami juga menuntut Gubernur Fauzi Bowo untuk mengganti Walikota Jakarta Barat karena gagal mengeluarkan kebijakan yang pro rakyat,” ujarnya.
Lahan yang disengketakan warga berada di Jl. Guji Baru, Kelurahan Duri Kepa, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Lahan seluas 1,8 hektar tersebut saat ini dihuni oleh sekitar 400 kepala keluarga dengan lebih dari 1000 jiwa.
Asisten Pembangunan Walikota Jakarta Barat, Tri Kurniadi mengaku telah merespon tuntutan warga. Langkah yang ditempuh adalah dengan mengagendakan proses mediasi sebanyak dua kali. “Tapi keduanya ditolak. Mereka enggan hadir,” ujarnya.
Tri mengaku heran dengan sikap tersebut. Mestinya, kata dia, warga yang mengaku memiliki hak atas lahan tersebut berkenan menjelaskan bukti kepemilikan dengan pihak pemerintah. “Biar kita bisa saling adu data,” ujarnya.
Hal Serupa disampaikan Kepala Sub Bagian Penegakan Hukum I Made Suarjaya. Menurut dia, sengketa kepemilikan lahan hendaknya diselesaikan melalui jalur formal. “Kalau keberatan, silahkan ajukan upaya hukum,” katanya.
RIKY FERDIANTO