Namun belakangan muncul surat dari Kementerian Keuangan tanggal 25 April tahun 2001, saat Taspen berada di bawah naungan Kementerian Badan Usaha Milik Negara pada 2002. "Kementerian BUMN mengizinkan kami membeli rumah tapi tanpa ada potongan 50 persen seperti yang di surat Menkeu," kata Benjamin.
Niat membeli rumah ini pun urung. Benjamin menilai manajemen Taspen lalai menyampaikan surat tersebut. Kuasa hukum keluarga Siahaan, Iwan Natapriana mengatakan eksekusi ini liar. "Sengketa masih dalam proses Peninjauan Kembali," katanya. (Baca juga: KPK Sita Rumah Anas di Duren Sawit dan Tanah di Yogya)
Tapi alasan manajemen Taspen berbeda. Menurut Paulus, sudah beberapa kali Taspen berupaya mengosongkan rumah tersebut, tapi selalu gagal. Paulus mengatakan eksekusi harus segera dilakukan karena ada perintah Presiden tentang efisiesi pengeluaran lembaga negara.
Selain itu, Keputusan Menteri Keuangan tahun 1991 menyebutkan anggota direksi BUMN yang sudah tidak menjabat harus mengosongkan rumah dinas selambat-lambatnya tiga bulan.
Victor dan keluarganya akhirnya menyerah setelah Satpol PP mengunci rumah dari dalam. Manajemen Taspen pun memberi label rumah tersebut dengan papan pengumuman bertuliskan "Rumah ini milik PT Taspen". "Saya malu, diperlakukan seperti penjahat narkoba," ujar Victor.
ANDI RUSLI
Berita Terpopuler
Vonis Tommy Soeharto Jadi Novum Terpidana Mati
Moeldoko Ngiler Lihat USS Sampson dan Sea Hawk
Khotbah Jumat Ngawur, NU: Jemaah Boleh Interupsi