TEMPO.CO, Jakarta -Enam anak perempuan berusia rata-rata 4 tahun berdiri di balok kayu. Berwajah kucel dan tak memakai sandal, mereka fasih menyanyikan Are You Sleeping Brother John dalam bahasa Inggris, Prancis, dan Italia. “Mereka diajari tamu-tamu saya,” kata Ronny Poluan, pendiri Jakarta Hidden Tour, di Penjaringan, Jakarta Utara, Jumat lalu.
Tamu-tamu yang dimaksud Ronny adalah para peserta tur yang datang dari pelbagai negara. Mereka tersenyum mendengar nyanyian pengantar tidur yang populer di Prancis sejak abad ke-17. Hari itu, Ronny memandu dua turis asal Italia dan Amerika Serikat.
Ronny membawa mereka menyusuri gang-gang sempit yang berjela-jela di antara rumah-rumah kumuh di Penjaringan. Sepanjang perjalanan, ia tak henti menjelaskan kekacauan penataan permukiman di Jakarta. Ia berdiri di jembatan kayu reot yang di bawahnya menggenang air menghijau bekas rob.
Sudah enam tahun Ronny menjadi pemandu tur tak biasa ini. Setelah beberapa stasiun televisi menayangkan tur ini, Ronny dikecam pemerintah Jakarta. “Saya dituduh menjual kemiskinan bangsa sendiri,” katanya. “Ini cara saya menunjukkan realitas dan menyindir pemerintah yang tak mampu memberantas kemiskinan.”
Laki-laki 62 tahun yang tinggal di Jakarta Timur ini bergeming. Ia terus membuka pendaftaran tur ini lewat blog gratis. Tarifnya US$ 50 per orang bagi wisatawan asing dan setengahnya untuk turis lokal. Tur dimulai sejak pagi dengan start dari Kota Tua di Jakarta Barat, lalu naik perahu ke Penjaringan, kembali dengan bus umum ke Kota Tua pukul 16.00.
Ia mengajak penduduk yang dilaluinya untuk menemani para turis. Ronny lalu berbagi tarif itu dengan mereka. “Sepekan saya empat kali menemani turis yang datang ke sini,” kata Lismarni, perempuan 35 tahun warga Penjaringan. Sejak sering didatangi turis, kata dia, tetangga-tetanganya jadi fasih berbahasa Inggris.
Dari tiket tur ini, Ronny mengumpulkannya dan membangun koperasi yang menyediakan simpan-pinjam. Bagi seniman lulusan Institut Kesenian Jakarta itu, ini cara ampuh untuk mencegah warga Penjaringan meminjam uang ke rentenir yang bunganya mencekik.
Veronica Manson, dari Italia, mengatakan ia kini tahu sisi lain Jakarta. Ia antusias naik becak di Gang Luar Batang, lalu menyusuri Pasar Ikan dan keluar-masuk rumah bilik yang sempit. “Jakarta seperti uang yang punya dua sisi. Ini sisi kumuhnya,” kata ibu dua anak itu.
James Obata tak kurang kaget ketika masuk kampung di Penjaringan. Di Amerika Serikat, kata dia, teman-temannya sering menceritakan Jakarta yang hedonis: mewah, bebas, banyak hiburan malam. “Jakarta digambarkan sebagai ibu kota negara penghasil minyak terbesar dengan pertumbuhan ekonomi bagus,” kata konsultan perusahaan komunikasi itu.
Obata, yang nenek moyangnya dari Jepang, tahu Jakarta Hidden Tour dari Internet. Ia tertarik mencoba ketika datang ke Jakarta untuk melihat wajah lain Ibu Kota selain Jalan Sudirman dan Thamrin. “Ini tur menarik justru karena bukan tur bintang lima,” kata dia.
GANGSAR PARIKESIT