TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar, mengatakan maklumat yang dikeluarkan para kepala kepolisian daerah, termasuk Kepala Polda Metro Jaya, bukan pelarangan demonstrasi, tapi pelarangan unjuk rasa yang melanggar hukum.
Menurut Boy, demonstrasi yang melanggar hukum, misalnya demo anarkistis, pemblokiran, dan penutupan jalan. "Laksanakan unjuk rasa di tempat-tempat yang meminimalkan adanya gangguan terhadap masyarakat banyak," kata Boy di Restoran Es Teler 77, Jakarta Selatan, Kamis, 24 November 2016.
Baca Juga:
Boy mengatakan pendemo harus berusaha menghormati hak masyarakat lain yang tidak berunjuk rasa. "Tanggal 25 November dan 2 Desember itu juga hari kerja. Kita harus memperhatikan sekian belas juta warga Jakarta yang haknya juga harus dipenuhi," ujar Boy.
Menurut dia, unjuk rasa diatur tanpa harus mengganggu masyarakat yang tidak berunjuk rasa.
Front Pembela Islam (FPI) dan beberapa organisasi keagamaan berencana berunjuk rasa pada 2 Desember 2016. Demonstrasi ini adalah kelanjutan dari unjuk rasa yang sudah digelar pada 14 Oktober atau Bela Islam I dan 4 November, Bela Islam II.
Pemimpin FPI, Muhammad Rizieq Shihab, mengatakan unjuk rasa 2 Desember dinamakan Bela Islam III. "Tujuannya tetap sama, tahan Ahok (Basuki Tjahaja Purnama)," kata Rizieq di Badan Reserse Kriminal Polri, Rabu, 23 November 2016.
Sebelum demonstrasi ini, polisi telah mengimbau kepada calon demonstran agar tertib. Misalnya, Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Mochamad Iriawan meminta pengunjuk rasa tidak salat berjamaah di jalanan.
Kepala Polri Jenderal M. Tito Karnavian juga meminta pendemo tidak menutup jalan saat berdemo. Alasannya, beberapa jalan, seperti Jalan M.H. Thamrin dan Jenderal Sudirman, adalah jalan protokol dan urat nadi Jakarta dan Indonesia.
Rizieq berseru bahwa unjuk rasa 2 Desember adalah unjuk rasa yang dilindungi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. "Siapa pun orangnya, di negara Republik Indonesia tidak boleh melarang suatu unjuk rasa, presiden sekalipun," ujar Rizieq.
Rizieq melanjutkan, dalam Pasal 18 undang-undang tersebut, disebutkan barang siapa menghalangi atau menghadang dengan kekerasan suatu unjuk rasa yang dilindungi undang-undang ini, maka dipidana 1 tahun penjara.
"Jadi kalau Presiden atau Kapolri atau siapa pun yang menghalangi unjuk rasa damai yang sudah dijamin undang-undang, maka beliau-beliau bisa dipidana 1 tahun penjara," ucap Rizieq.
REZKI ALVIONITASARI