TEMPO.CO, Jakarta - Puluhan nelayan yang tergabung dalam Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia menyambangi kantor Menteri Susi Pudjiastuti. Mereka menyampaikan beberapa masalah yang mereka temui di lapangan.
Ketua Dewan Pengurus Pusat KNTI Marthin Hadiwinata berujar salah satu permasalahan yang mereka alami bermula ketika PT Bumi Pari Asri mengklaim memiliki 80 sertifikat tanah di Pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta.
Hal ini memantik kekhawatiran warga asli salah satu pulau di Kepulauan Seribu itu. Sebab, kata dia, kehidupan nelayan bukan hanya soal menangkap ikan, melainkan juga hak penguasaan tanah untuk tempat tinggal nelayan.
"Hak tenurial nelayan tidak bisa dihilangkan," ujar Marthin di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jumat, 15 September 2017. Marthin berujar sampai sekarang nelayan belum mendapatkan perlindungan atas tanah dan sumber daya lingkungan di sekitarnya.
Perwakilan KNTI asal Pulau Pari, Eddy Mulyono, khawatir akan terjadi pembatasan hidup nelayan jika pihak swasta yang mengelola Pulau Pari. Padahal sektor pariwisata kini merupakan andalan masyarakat setempat untuk menggantungkan hidup. Hal itu mulai menghantui produktivitas masyarakat yang cemas harus angkat kaki dari sana.
Menurut Eddy, dengan datangnya pihak swasta, ada beberapa zona yang dulunya dimanfaatkan warga untuk menangkap ikan dan budi daya rumput laut, kini tidak boleh lagi digunakan.
"Lewat saja tidak boleh," katanya.
Selain di Pulau Pari, Eddy menyebut privatisasi pulau itu telah dilakukan di Pulau Burung, Pulau Tikus, dan Pulau H. Dampak langsung yang dirasakan, kata dia, adalah para nelayan sudah tidak boleh lagi mampir di sana lantaran pulau itu telah diklaim para pengelola swasta.
Eddy mengatakan tidak kunjung ada titik mufakat untuk menyelesaikan permasalahan itu. Bahkan pria yang mengaku sudah enam generasi menduduki Pulau Pari itu mengungkapkan sudah ada empat warga Pari yang dipidana dan beberapa lainnya sedang menjalani proses hukum lantaran perseteruan tersebut.
"Kalau banyak yang dikriminalisasi, sudah tidak ada lagi yang bisa memperjuangkan hak kami," ujarnya. Karena itu, dia berharap Menteri Susi bisa turun tangan menyelesaikan permasalahan tersebut.
Aktivis Fian Internasional, Yifang, mengatakan, meskipun masyarakat setempat tidak memiliki surat-surat, sebagai penduduk asli kawasan itu mereka memiliki hak-hak tenurial yang perlu diperhatikan pemerintah. Dia berujar pemerintah bertanggung jawab untuk hak tenurial masyarakat.
Dengan masuknya pihak yang mengklaim 80 sertifikat itu, menurut Yifang, masyarakat bisa terancam lantaran mesti pindah atau terusir dari rumahnya. "Hal ini mendatangkan ketakutan, bukan hanya terhadap nelayan, melainkan juga keluarganya, istri, dan anaknya," katanya.
CAESAR AKBAR