TEMPO.CO, Jakarta - Kuasa Hukum Jamaah Ahmadiyah Depok Fitri Sumarni mengatakan timnya sedang menyusun upaya hukum atas penyegelan kembali bangunan mereka yang digunakan untuk ibadah. Bangunan tersebut, kata Fitri, adalah Masjid Al Hidayah di Jalan Muchtar Sawangan, tempat jamaah Ahmadiyah beribadah yang tujuh kali disegel.
"Penyegelan tidak sah. Tidak ada Peraturan Daerah yang dilanggar oleh JAI (Jamaah Ahmadiyah Indonesia)," kata Fitri, Rabu, 7 Juni 2017.
Menurutnya, apa yang disampaikan Walikota Depok Idris Abdul Shomad dalam konferensi persnya kepada media, tidak benar. Saat itu, Idris mengatakan penyegelan sebagai bentuk pemerintah untuk melindungi jamaah Ahmadiyah, dan juga sebagai bentuk toleransi.
Baca: Segel Markas Ahmadiyah, Wali Kota Depok: Sudah Sesuai Aturan
"Jadi konyol kalau dibilang suatu bentuk toleransi. Kalau walikota tahu ada yang akan merusak masjid, ya laporkan dong ke polisi bukan masjidnya yang disegel," ujarnya.
Pihaknya saat ini, sedang fokus melakukan pendampingan kepada saksi-saksi yang dipanggil kepolisian atas laporan Pemkot Depok bahwa ada perusakan segel. "Segel yang dipasang Pemkot Depok berupa plang tertulis masih utuh, tidak ada yang dirusak," ujarnya. "Penyegelan juga tidak sah, karena tidak ada putusan pengadilan."
Idris mengatakan langkah tersebut diambil untuk melindungi mereka dari aksi massa yang tidak menerima keberadaan jamaah Ahmadiyah di wilayah itu. "Pemerintah ingin melindungi mereka dari kekerasan yang kami khwatirkan. Sehingga kami segel lagi," kata Walikota Depok Idris Abdul Shomad di Balai Kota Depok, Minggu, 4 Juni 2017.
Menurutnya, penyegelan merupakan bentuk toleransi pemerintah untuk menjaga jamaah Ahmadiyah. Namun, jamaah Ahmadiyah Depok, malah membuka kembali tempat kegiatan mereka setelah disegel. "Karena sudah keenam kali kami segel dan dibuka kembali, akhirnya kami laporkan ke polisi," ujarnya.
Pemkot Depok juga telah membalas surat dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia terkait rekomendasi pelesan segel. Bangunan yang disegel, kata dia, memang memiliki izin rumah dan masjid.
Namun, tempat tersebut dijadikan kantor dan kegiatan untuk menyebarkan ajaran mereka. Sehingga, kata dia, pemerintah berhak menyegel markas yang dijadikan kantor tersebut. "Bangunan itu sudah di luar peruntukannya," ujarnya.
Bahkan, bangunan yang disebut mereka sebagai masjid tidak boleh dimasuki untuk salat bersama penduduk lain. Pemerintah, kata dia, sudah mencoba membuka bangunan tersebut untuk digunakan bersama. Bahkan, pemerintah ingin memasukan ulama maupun ustad untuk beribadah bersama mereka.
"Tapi, mereka tidak menerima. Mereka hanya ingin dari komunitasnya saja," ujarnya. "Silahkan kalau itu disebut masjid untuk umum."
Masalah ini, kata Idris, jika dibiarkan bisa menimbulkan konflik yang lebih besar lagi. Justru, pemerintah ingin melindungi mereka agar tidak diamuk masa. "Ini (tindakan main hakim sendiri) yang kami khawatirkan."
IMAM HAMDI