TEMPO.CO, Depok - Aktivis Ruang Terbuka Hijau (RTH) Movement akan melakukan somasi kepada Wali Kota Depok Mohammad Idris Abdul Somad karena dianggap tidak peduli mengembangkan RTH di wilayahnya.
“Apabila tidak ada tanggapan dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam dari hari ini, kami akan layangkan somasi sebagai prasyarat melakukan gugatan,” ujar Koordinator RTH Movement Depok, Alfred Sitorus kepada pers di Pingset Koffee, Jalan Raya Cipayung, Citayam, Kota Depok, pada 12 Februari 2018.
Baca juga:
Depok Ubah Nama Kota Belimbing Menjadi Friendly City
Beli Lahan untuk Alun-alun, Depok Siapkan Dana 164 Miliar
Peraturan saat ini menetapkan pemerintah kota atau kabupaten harus menyiapkan minimal 20 persen RTH dari luas wilayah. Alfred menjelaskan Kota Depok yang luasnya sekitar 200 kilometer persegi, masih jauh dari ketentuan tersebut.
Alfred menjelaskan dalam 10 tahun, Pemerintah Kota Depok justru membabat RTH di Jalan Margonda dan trotoarnya. Selain itu mengizinkan pembabatan hutan bambu di bantaran Sungai Ciliwung.
Selain itu, pengadaan RTH di komplek Grand Depok City (GDC) seluas 4 hektar dengan dalih sebagai alun-alun kota, dinilai Alfred, sarat dengan hal-hal yang sumir, tidak transparan dan tidak adil.
Sumir dan tidak transparan, ujar Alfred , karena dalam prosesnya tidak melibatkan masyarakat. Alfred menjelaskan kebijakan itu tidak adil karena mengabaikan kebutuhan RTH warga Depok di wilayah barat (Kecamatan Sawangan dan Bojongsari), wilayah timur (Kecamatan Tapos dan Cilodong) dan wilayah selatan (KecamatanCipayung).
Ahmad Puput Safrudin, aktivis RTH Movement Depok dan Thamrin School of Climate Change and Sustainability, menjelaskan pihaknya mengajukan sejumlah gugatan kepada Wali Kota Depok.
“Pertama, agar pengadaan RTH dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara transparan dan dialokasikan secara berimbang dan berkeadilan dengan kebutuhan warga di wilayah timur, barat dan selatan Depok,” kata Puput.
Kedua, penentuan titik alun-alun di komplek perumahan GDC yang menguntungkan pihak pengembang. Proses ini diduga terjadi konspirasi karena utilitas jalan utama masih belum diserahterimakan ke pemerintah.
Ketiga, kejelasan sisa anggaran pembebasan lahan yang tidak digunakan pada 2017 (dianggarkan sebesar Rp Rp 235 miliar, dan digunakan Rp 164 miliar) agar bisa digunakan untuk pembebasan lahan RTH di wilayah lain.
Keempat, transparansi pengelolaan konversi dana untuk RTH dari kewajiban pengembang gedung perkantoran, hotel, kawasan komersial, perumahan vertikal (apartemen) dan lainnya sebagai alternatif pemenuhan RTH.
Kelima, mengembangkan RTH di wilayah barat, timur dan selatan sekaligus sebagai ruang publik, dimana masyarakat berinteraksi secara sosial, berolahraga dan berkesenian.
Simak juga: Disebut Kota Tak Layak Huni, Wali Kota Depok Sangkal Metodologi
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga menjelaskan pengadaan RTH harus dijadikan komitmen Pemerintah Kota Depok mengingat saat ini program unggulan Wali Kota Depok adalah zero waste city, smart healthy city, dan family city.
“Bagaimana bisa kota sehat terwujud kalau RTH nya tidak dibangun,” katan Nirwono yang hadir dalam acara RTH Movement Depok.
Secara teknis, kata Nirwono, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan pemerintah kota untuk membuat RTH. Antara lain revitalisasi waduk atau situ, naturalisasi sungai, penghijauan sepanjang rel kereta api, serta penghijauan lahan kosong di Depok.