TEMPO.CO, Tokyo - PT Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta akan meniru kesuksesan operator kereta di Jepang dalam mendulang keuntungan dari pendapatan non-farebox alias penerimaan di luar penjualan tiket kepada penumpang.
Baca juga: Perkiraan Jokowi soal Harga Tiket Kereta MRT Jakarta
Koran Tempo edisi Senin, 3 Desember 2018 memaparkan studi banding yang dilakukan PT MRT Jakarta dan sejumlah jurnalis Indonesia ke Jepang.
Pekan lalu, Tempo dan empat jurnalis lainnya mendapatkan kesempatan untuk mempelajari sistem dan bisnis kereta di Jepang. Tempo juga mengunjungi sejumlah stasiun kereta, seperti Stasiun Hakata City, Osaka, dan Shinjuku.
Ketiga stasiun tersebut dipadati oleh berbagai iklan. Papan iklan digital pelbagai ukuran terpacak di dinding dan pembatas stasiun.
Mayoritas stasiun besar di Jepang juga dilengkapi pusat belanja, restoran, toko serba ada, toko obat, hingga toko oleh-oleh. Walhasil, yang mengunjungi stasiun bukan hanya para penumpang kereta. Stasiun besar pun selalu ramai oleh mereka yang hendak belanja.
Sekretaris Perusahaan PT MRT Jakarta, Tubagus Hikmatullah, mengatakan pendapatan non-tiket itu diharapkan bisa mengurangi subsidi tarif dari pemerintah DKI Jakarta.
“Harapannya, non-farebox ini bisa menjadi revenue yang menutup (subsidi) dan menghidupi perusahaan,” ujar Hikmatullah, di Tokyo, Jepang.
Simak juga: Begini Pesan Tertulis Anies Baswedan untuk Jajaran MRT Jakarta
Menurut Hikmatullah, MRT Jakarta telah mempelajari kesuksesan operator kereta di Negeri Sakura itu. Mereka rata-rata mengandalkan pemasukan dari bisnis non-tiket.
Pada 2015, Kementerian Tanah, Infrastruktur, Transportasi, dan Pariwisata Jepang mencatat rata-rata pendapatan bisnis non-tiket dari 16 operator besar MRT sekitar 68,8 persen. Adapun pendapatan dari sisi tiket hanya sekitar 31,2 persen.