TEMPO.CO, Jakarta - Polemik pengelolaan air di Jakarta tampaknya masih akan berjalan panjang. Mahkamah Agung mengabulkan peninjauan kembali yang diajukan oleh Kementerian Keuangan soal swastanisasi air.
Kemenkeu mengajukan peninjauan kembali atas putusan kasasi Mahkamah Agung yang mengabulkan kasasi Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta pada 10 April 2017. Dalam amar putusan kasasi, Mahkamah menilai kerja sama PAM Jaya dengan Palyja dan Aetra sejak 6 Juni 1997 melanggar aturan.
Baca: Anies Cerita Kendala Penuhi Putusan MA soal Swastanisasi Air
Hakim kasasi pun memerintahkan para tergugat menghentikan kebijakan swastanisasi air minum di DKI dan mengembalikan pengelolaannya kepada PAM Jaya. Kementerian adalah salah satu pihak yang digugat oleh koalisi.
Berikut ini lika-liku sengketa pengelolaan air Jakarta:
6 Juni 1997
PAM Jaya menandatangani kontrak pengelolaan air selama 25 tahun dengan PT PAM Lyonnaise Jaya dan PT Thames PAM Jaya, yang kemudian berganti menjadi Aetra. Kontrak berlaku hingga 2023.
1 Februari 1998
Pengelolaan air sepenuhnya dipegang kedua mitra swasta. Palyja mengelola air di wilayah barat Jakarta, sementara Aetra di timur.
22 November 2012
Koalisi Masyarakat mengajukan gugatan menolak penswastaan air ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam gugatan itu, pihak tergugat adalah Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Keuangan dan Gubernur DKI Jakarta. Pihak ikut tergugat adalah DPRD DKI Jakarta, Dirut PDAM Jakarta dan dua perusahaan swasta yang menjadi operator air bersih yaitu Palyja dan Aetra.
18 Februari 2015
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor 85/PUU-XII/2013 yang pada intinya melarang swastanisasi air. PP Muhammadiyah, kelompok masyarakat dan sejumlah tokoh sebelumnya menggugat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang dianggap belum menjamin pembatasan pegelolaan air oleh pihak swasta.
24 Maret 2015
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Koalisi melalui putusan Nomor 527/PDT.G/2012/PN JKT.PST. Pihak tergugat dinilai lalai dalam pemenuhan hak asasi manusia atas air bagi warga negara, khususnya warga DKI. Para tergugat mengajukan banding.
12 Januari 2016
Pengadilan Tinggi Jakarta menganulir putusan Pengadilan Negeri, dengan nomor putusan Nomor 588/PDT/2015/PT DKI
25 Oktober 2016
PAM Jaya dan Palyja menandatangani nota kesepahaman untuk merestrukturisasi kontrak
10 April 2017
Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi Koalisi melalui putusan Nomor 31 K/Pdt/2017. Isinya memerintahkan para tergugat menghentikan kebijakan swastanisasi air minum di DKI dan mengembalikan pengelolaannya kepada PAM Jaya
25 September 2017
PAM Jaya menandatangani nota kesepahaman untuk merestrukturisasi kontrak dengan Palyja dan Aetra. Nota kesepahaman diperbarui karena sebelumnya PAM Jaya dan Palyja tak kunjung menyepakati restrukturisasi kontrak.
22 Maret 2018
Kementerian Keuangan menyerahkan memori peninjauan kembali melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada Juni 2018, koalisi menyerahkan kontra memori peninjauan kembali dengan menggunakan dalil putusan MK.
10 Agustus 2018
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kemudian membentuk Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum untuk mengkaji restrukturisasi kontak dengan Palyja dan Aetra.
30 November 2018
Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan Kementerian Keuangan soal swastanisasi air.