TEMPO.CO, Jakarta - Hasil kajian Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum bentukan Gubernur Anies Baswedan telah mengeluarkan tiga rekomendasi untuk menghentikan swastanisasi air di Jakarta. Semua rekomendasi itu memiliki resiko yang berpotensi merugikan keuangan negara.
Baca: LSM Desak Anies Baswedan Ikuti Putusan MA Stop Swastanisasi Air
Berikut ini rincian dari tiga opsi tersebut:
1. Status Quo
Anggota Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum Nila Ardhianie menilai opsi ini memiliki dampak kerugian yang paling besar. Sebab, dalam perjanjian kerja sama antara PD PAM JAYA dengan PT PAM Lyonnaise Jaya dan PT Aetra Air Jakarta, pemerintah menjamin keuntungan untuk kedua perusahaan tersebut masing-masing 22 dan 15,8 persen.
Artinya, meskipun PAM JAYA sedang dalam kondisi tak untung atau merugi, pemerintah tetap harus memberikan keuntungan kepada Aetra dan Palyja. Nilai jaminan keuntungan itu sebesar Rp 2,7 miliar per hari atau Rp 8,5 triliun jika kontrak terus berlanjut hingga 2023.
Keuntungannya jika Pemprov DKI memilih alternatif status quo ini, pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya atas pengambilalihan fasilitas karena setelah kontrak selesai seluruh aset akan kembali. Namun, sebagai dampaknya Pemprov DKI tak akan mampu mencapai target penambahan layanan air perpipaan karena ada hak eksklusivitas mitra swasta dalam investasi dan pengelolaan.
Sebagai catatan, saat pertama kali swastanisasi air berlaku di tahun 1998, luas jangkauan adalah 44,5 persen. Setelah 20 tahun (2018) menjadi 59,4 persen atau hanya meningkat 14,9 persen. Sedangkan pihak swasta menjanjikan layanan cakupan air di DKI mencapai 82 persen pada tahun 2023.
2. Pemutusan Kontrak Sepihak
Rekomendasi kedua adalah DKI memutuskan kontrak dengan dua perusahaan secara sepihak. Dengan cara ini, masa kontrak yang seharusnya selesai 2023 menjadi lebih cepat empat tahun. Namun, pemutusan kontrak sepihak ini juga mengandung konsekuensi. Pemprov DKI harus menanggung biaya terminasi sebesar Rp 1 triliun lebih untuk satu perusahaan.
Selain berakibat biaya pinalti yang tak sedikit, menurut Nila, pemutusan kontrak secara sepihak oleh pemerintah kepada swasta membuat iklim bisnis di Indonesia, khususnya di Jakarta, menjadi tak baik. Sehingga Pemprov DKI tak memilih rekomendasi ini.
3. Pengambilalihan Pengelolaan secara Perdata
Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum Tatak Ujiyati menjelaskan, pengambilalihan secara perdata ini terbagi menjadi tiga cara, pertama membeli saham kedua Palyja dan Aetra, kedua penghentian kerja sama, dan ketiga pengambilalihan secara bertahap Water Treatment Plan (WTP) atau Instalasi Pengelolaan Air (IPA) oleh PD PAM Jaya.
Untuk pembelian saham, Pemprov DKI harus menggelontorkan dana sebesar Rp 1,3 triliun untuk saham PT Aetra Air Jakarta dan Rp 650 miliar untuk PT PAM Lyonnaise Jaya. Selain itu, Pemprov DKI Jakarta harus menanggung utang milik Aetra Air Jakarta kepada bank sebesar Rp 2,1 triliun. Melihat besarnya biaya yang perlu ditanggung, menurut Tatak, pilihan itu agak sulit terlaksana.
Untuk penghentian kerja sama, risiko yang perlu ditanggung sama dengan penghentian kontrak secara sepihak. Pemprov DKI perlu menanggung biaya hingga Rp 2 triliun lebih.
Cara pengambil alihan secara perdata terakhir, yakni dengan pengambil alih sebagian WTP dinilai Tim Evaluasi yang paling aman. Namun cara ini bakal memakan waktu lama karena tidak mudah bernegosiasi dengan Aetra dan Palyja.
Sampai saat ini, Gubernur Anies belum memutuskan opsi yang akan diambil. Ia memerintahkan kepada Dirut PAM JAYA Bambang Hernowo untuk membuat Head of Agreement (HoA) antara PAM JAYA dengan Aetra dan Palyja dalam waktu satu bulan ini.
Baca : Penyebab DKI Kukuh Jalankan Putusan Kasasi Stop Swastanisasi Air
"HoA adalah kesepakatan awal sebelum ada MoU atau Perjanjian Kerja Sama. Jadi itu akan mengatur agendanya apa saja, yang diatur apa saja, yang akan dibicarakan apa saja," ujar Anies Baswedan.