TEMPO.CO, Jakarta -Pengacara enam aktivis Papua yang ditahan oleh Polda Metro Jaya sejak Agustus lalu membacakan permohonan praperadilan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Pembacaan dalam kasus 6 aktivis Papua sebelumnya telah tertunda selama sebulan lantaran Polda Metro Jaya sebagai pihak termohon mangkir dalam dua sidang sebelumnya.
Dalam permohonan tersebut, Tim Advokasi Papua menyebut penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penetapan tersangka terhadap enam aktivis Papua oleh Polda Metro Jaya tidak sah.
Kepada hakim, salah satu anggota tim advokasi, Muhammad Fuad, juga meminta Polda Metro Jaya dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum. “Melakukan tindak perampasan, penipuan, diskriminasi, dan kekerasan terhadap para pemohon,” kata dia dalam persidangan, Senin, 2 Desember 2019.
Keenam aktivis Papua yang ditangkap adalah Surya Anta, Charles Kossay, Dano Tabuni, Isay Wenda, Ambrosius Mulait dan Arina Elopere. Mereka ditangkap setelah mengibarkan bendera Bintang Kejora saat aksi unjuk rasa di depan Istana Negara pada Agustus 2019 lalu.
Anggota tim advokasi lainnya, Tigor Hutapea, mengatakan saat itu Charles dan Dano tengah berada di asrama Lani Jaya, Depok. Sekitar pukul 19.30 WIB, datang kurang lebih 50 orang polisi berpakaian preman yang memaksa masuk asrama. Puluhan polisi itu, kata Tigor, diduga tak menggunakan dan memperlihatkan tanda pengenal. Mereka ditengarai masuk dengan cara kekerasan sambil membawa senjata laras pendek. “Mereka menodongkan pistol dan mencekik leher Andius, Akim, Aseie, Michael, dan Etias selaku penghuni asrama,” ucap Tigor.
Ia juga mengatakan puluhan anggota polisi tersebut tak memberikan surat penangkapan seperti yang seharusnya dilakukan. Mereka hanya membacakan dan langsung melakukan penangkapan. Sementara untuk proses penggeledahan, kata Tigor, para anggota kepolisian juga diduga tak memperlihatkan surat izin penggeledahan.
Mereka langsung menggeledah barang-barang di dalam asrama Lani Jaya ganpa dihariri dua orang saksi dari perwakilan RT atau RW. Tak ada juga surat izin penggeledahan dari Pengadilan Negeri setempat kala itu. “Hal itu bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana,” tutur Tigor.
Juru bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) Paulus Surya Anta Ginting keluar dari ruang tahanan untuk menemui Komnas HAM dan Majelis Rakyat Papua di Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, 21 September 2019. Tempo/Friski Riana
Selanjutnya, pada 31 Agustus 2019, polisi menangkap dua orang lainnya yaitu Issay Wenda dan Ambrosius Mulait yang tengah menyampaikan pendapat di depan Polda Metro Jaya. Mereka dipanggil untuk masuk sebagai perwakilan, namun, selang beberapa menit langsung ditangkap dengan hanya memperlihatkan Surat Perintah Penangkapan dengan status tersangka.
Di hari yang sama, Arina Elopere ditangkap usai keluar dari salah satu mini market di daerah Tebet, Jakarta Selatan tanpa adanya surat penangkapan. Selanjutnya, polisi menangkap Surya Anta di Mall Plaza Indonesia, Jakarta Pusat.
Para pemohon. Tigor mengatakan kalau Surya Anta, Charles Kossay, Dano Tabuni, dan Ambrosius Mulait baru menerima Surat Perintah Penangkapan pada 31 Agustus 2019. “Kami menduga surat penangkapan yang diperlihatkan kepada para pemohon saat proses penangkapan bukanlah surat penangkapan,” kata Tigor.
Menurut Tigor, penetapan tersangka Surya Anta dan lima rekannya juga ditengarai tanpa ada pemeriksaan saksi dan gelar perkara. Ia mengatakan, berdasarkan aturan ihwal manajemen penyidikan, seharusnya ada proses pemanggilan terhadap terlapor, pemeriksaan saksi, dan gelar perkara, serta dua alat bukti yang cukup dan sah, sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Usai mendengar penjelasan pihak pemohon, hakim tunggal Agus Widodo pun menjelaskan jadwal persidangan selanjutnya. Ia mengatakan perkara permohonan praperadilan 6 aktivis Papua itu akan diputus pada Selasa pekan depan, 10 Desember 2019.