TEMPO.CO, Jakarta -Pengacara terdakwa 6 aktivis Papua, Oky Wiratama Siagian mengkritik pernyataan jaksa yang menyebut tindakan separatisme berkedok penyampaian pendapat tetap harus ditindak.
Menurut jaksa, batasan kebebasan menyampaikan pendapat dibatasi dan diatur dalam Pasal 28 J Undang-Undang Dasar 1945.
Okky justru mengatakan bahwa batasan penyampaian pendapat di muka umum itu ada dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998. Menurut dia, seluruh kliennya sudah taat akan aturan tersebut.
"Enam tahanan politik ini menyampaikan surat pemberitahuan aksi ke Polda Metro Jaya, berarti sudah seusai undang-undang dong," kata Oky di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin, 20 Januari 2020. "Kalau kawan-kawan ini niatnya jahat ya, ngapain mereka bikin surat pemberitahuan aksi?," dia melanjutkan.
Sidang hari ini menggelar agenda tanggapan jaksa atau nota keberatan atau eksepsi kuasa hukum terdakwa makar Papua. Jaksa penuntut umum membantah seluruh dalil eksepsi itu. Termasuk salah satunya, tidak perlu memasukkan Pasal 87 KUHP dalam dakwaan karena sudah cukup dengan locus dan tempus.
Okky kemudian mengkritik alasan jaksa itu. Menurut dia, agar perkara ini tidak kabur, jaksa harus memasukkan Pasal 87 KUHP untuk menjelaskan bentuk makar.
"Harus di juncto-kan dengan pasal itu. Makar ini kan serangan, bentuknya apa?," kata Okky.
Enam terdakwa dalam kasus ini adalah Paulus Suryanta Ginting, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, Isay Wenda, Anes Tabuni dan Arina Elopere. Mereka ditangkap polisi karena mengibarkan bendera Bintang Kejora saat berunjuk rasa menuntut referendum di depan Istana Merdeka pada 28 Agustus 2019.
Para aktivis Papua itu kemudian didakwa jaksa penuntut umum dengan dua pasal alternatif. Yaitu, Pasal 106 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP soal makar dan Pasal 110 ayat 1 KUHP ihwal permufakatan jahat.