TEMPO.CO, Jakarta - Tim penasihat hukum terdakwa menyatakan bahwa penggunaan visum et repertum sebagai rujukan untuk menyatakan kerusakan mata penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan akibat penyiraman oleh Rahmat Kadir Mahulettu tidak tepat.
"Karena sebagaimana telah kami sampaikan bahwa visum et repertum dibuat belakangan, lebih kurang 13 hari setelah peristiwa terjadi," ujar salah satu tim penasihat hukum Rahmat Kadir saat membacakan duplik di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Senin, 29 Juni 2020.
Menurut mereka, fakta itu menunjukkan bahwa potensi kerusakan mata pada Novel Baswedan dapat dicegah atau tidak akan terjadi apabila penanganan dilakukan secara baik dan benar. Menurut tim yang terdiri dari sembilan orang itu, pada 11 April 2017 atau hari penyiraman terjadi, dokter yang menangani mata Novel telah melakukan penanganan yang benar sehingga kadar PH mata penyidik KPK itu telah normal dan daya rusak yang ditimbulkan dari cairan asam sulfat yang disiramkan oleh Rahmat Kadir Mahulettu telah berakhir.
"Namun saksi korban (Novel) justru tidak mempercayai dokter atau Rumah Sakit Mitra Keluarga yang merawat saksi korban dan selanjutnya meminta untuk pindah ke rumah sakit lainnya," kata kuasa hukum.
Menurut kuasa hukum, visum et repertum justru baru muncul pada 24 April 2017 oleh rumah sakit yang pertama kali melakukan perawatan terhadap Novel. Menurut mereka, kemunculan visum ini aneh.
Novel Baswedan disiram air keras oleh kedua terdakwa, yakni Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis pada 11 April 2017. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK itu disiram dengan cairan asam sulfat setelah menunaikan salat subuh di Masjid Jami Al-Ihsan, Jalan Deposito, Pegangsaan Dua, Jakarta Utara. Akibat penyiraman itu, mata kiri Novel kini dinyatakan dokter buta permanen. Sementara kondisi mata kanannya hanya berfungsi sekitar 50 persen saja.