"Begitu mendarat di CGK T3 (Three letter code untuk Bandara Soekarno-Hatta) kemarin sekitar jam 18.00, tau-taunya diserbu dengan suara orang-orang teriak-teriak nyuruh penumpang ke arah kanan untuk duduk. Ada petugas yg membagikan kertas "klirens kesehatan" dari Kemenkes. Lha apa bedanya sama kartu kuning yak?," kata Trinity.
Menurut Trinity, ratusan kursi sudah disediakan untuk penumpang. Petugas bandara, tentara dan polisi lantas berteriak-teriak dalam bahasa Indonesia kepada penumpang guna menyuruh duduk.
Trinity mengatakan tidak ada informasi tertulis maupun verbal yang mengarahkan penumpang untuk berbuat sesuatu. "Bahkan bule-bule juga dibentak tentara, "Hey you, come back!"
Semakin lama, penumpang di area tersebut semakin menumpuk. Trinity mengaku semakin banyak yang dibentak tanpa dikasih tahu harus berbuat apa. Trinity menilai, penumpang diperlakukan seperti sampah dan seperti lautan pengungsi ilegal.
Trinity lantas menduduki bangku di area agak depan. Dia mengambil formulir dan mengisinya dengan bolpen miliknya sendiri. Sementara penumpang lain, kata dia, masih diteriakin disuruh duduk. Situasi di sana disebut sangat mengintimidasi dan tak ada jaga jarak.
Di momen-momen itu, Trinity juga sempat mengambil foto sebagai bukti. Dia membagikan fotonya di Twitter.
Situasi penanganan penumpang asal penerbangan luar negeri di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang pada Sabtu, 26 September 2020. Foto diambil dari akun Twitter @trinitytraveler
Trinity juga sempat melihat ada orang luar negeri yang diberikan akses maju lebih dahulu dari antrean oleh petugas. Dia mencoba bertanya ke petugas tentang perlakuan itu, namun tidak mendapatkan jawaban.
"Gue tanya ke petugas yang ngasih jalan ke bule, "Kok mereka boleh duluan? Jadi sekarang kita harus ngapain sih? Kok ga ada info?" Jawabnya, "Maju aja, bu!"," ujar dia.
Menurut Trinity, penumpang di area tersebut ternyata dibagi menjadi dua kelompok, yakni yang memiliki PCR dan yang non-PCR. Kemudian saat berada di area meja terbuka, kata Trinity, penumpang dimintai surat tes PCR, kartu kuning dan formulir oleh petugas yang sebagian tidak menggunakan alat pelindung diri atau APD. Mereka disebut hanya menggunakan masker.
"Lalu dicek suhu dan alat saturasi oksigen (alat yang dijepit di ujung jari telunjuk)," kata penulis buku berjudul Duo Hippo Dinamis: Tersesat di Byzantium, tersebut.
Trinity bercerita, seorang temannya memiliki suhu 34,2 derajat celcius saat dicek oleh petugas. Tapi anehnya, justru ditulis memiliki suhu 36,2 derajat celcius. Teman Trinity itu kemudian memancarkan protes.
"Tapi dijawab, "Ya biarin aja, bu!"," ungkap Trinity.
Tidak hanya temannya, Trinity juga menyampaikan protes terkait alat penjepit jari. Menurut dia, petugas tidak membersihkan alat itu setelah dipakai orang lain. Saat dikritik, petugas disebut hanya menjawab "Ya kan nanti ibu pake hand sanitizer". Sementara menurut Trinity, hand sanitizer ditaruh di atas besi yang oglek.
"Dan mencetnya harus pake jari juga (gak bisa pake siku atau buku jari). Jiaaah!," kata Trinity.
Proses penanganan penumpang tidak berhenti di situ. Trinity mengaku kembali antre di meja kedua yang dibatasi kaca. Surat-surat yang ditunjukkan di meja sebelumnya diserahkan kembali kepada petugas.
Setelah selesai, Trinity mengatakan para penumpang juga tidak diberikan informasi harus ke mana lagi. Dia kemudian jalan dan akhirnya sampai di bagian Imigrasi. Kepada pihak imigrasi, dia kembali menyerahkan surat-surat. Namun, proses penanganan juga belum selesai.
"Setelah baggage claim, kami dicegat dua tentara. Mereka cek surat-surat dan nanya, "Pulang ke mana?"," kata Trinity.
Setelah pertemuan terakhir dengan tentara tersebut, Trinity akhirnya keluar. Pada saat itu, suasana Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta disebutnya sangat sepi.
Menurut Trinity, formulir dan poin pemeriksaan penumpang dari luar negeri di Bandara Soekarno-Hatta terlalu banyak. Penumpang dicegat beberapa kali. Padahal, ujar dia, petugas seharusnya meminimalisir kontak. "Tapi ini ketemu orang dan bersentuhan dengan kertas-kertas yang dipegang tangan berkali-kali."