TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Gubernur Ahmad Riza Patria meminta masyarakat tidak menanggapi foto Gubernur Anies Baswedan tengah membaca buku yang viral di media sosial, secara berlebihan. Menurut Riza, Anies, seperti pemimpin lain, sudah biasa membaca buku. “Jadi, kita sikapi secara bijak,” ujar Riza di Balai Kota pada Selasa, 24 November 2020.
Riza Patria mengatakan bahwa para pemimpin sudah terbiasa membaca buku dengan berbagai topik dan judul. “Pemimpin membaca buku itu biasa. Sesuatu yang baik dengan berbagai judul. Jadi, enggak usah ditafsirkan berlebihan."
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membagikan aktivitasnya pada Ahad pagi, 22 November 2020 melalui akun Twitternya @aniesbaswedan. Mantan menteri pendidikan dan kebudayaan itu mengunggah fotonya saat sedang membaca buku. "Selamat pagi semua. Selamat menikmati Minggu pagi." Anies mencuit.
Dalam foto yang dibagikan, Anies berkemeja putih lengan pendek dan sarung merah marun dengan motif kotak-kotak kecil. Anies duduk dan terlihat membaca buku "How Democracies Die" bersampul hitam yang senada dengan jam tangan digitalnya.
Latar belakang rak buku coklat kayu berukuran sedang sejajar dengan rak kabinet yang di atasnya terdapat beberapa foto keluarga. Warganet penasaran dengan buku yang Anies baca. Akun @dodokasep merespon foto yang diunggah Anies dengan menulis, "Jadi penasaran sama bacaannya."
Analis politik Exposit Strategic, Arif Susanto, menjelaskan, konteks isi buku How Democracies Die mengacu pada terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat. "Tapi tidak semata-mata membahas Amerika Serikat," kata dia saat dihubungi, Senin, 23 November 2020.
Arif memaparkan, kedua penulis How Democracies Die menyuguhkan pandangan berbeda. Kedua penulis, Daniel Ziblatt and Steven Levitsky menunjukkan fenomena terkini bahwa, demokrasi bisa berakhir tidak dengan cara runtuh.
“Demokrasi bisa juga runtuh pelan-pelan." Fenomena ini disebut Ziblatt dan Levitsky dengan baby step.
Arif merangkum tiga pemikiran Ziblatt dan Levitsky. Pertama, ancaman terhadap demokrasi bisa berasal dari sebuah pemerintahan yang terpilih lewat pemilu. Kedua, demokrasi terancam pelan-pelan, salah satunya dengan menghalangi kebebasan.
Ketiga, demokrasi berpeluang melahirkan demagog atau pemimpin yang berlagak memihak kepada rakyat (populis), tapi justru menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. Sehingga, masyarakat terpolarisasi, dalam bahasa mudah diadu domba. “Mirip dengan di Indonesia dalam dua pemilu terakhir."
ADAM PRIREZA | LANI DIANA WIJAYA