Dian menyoroti pula hakim Sri Wahyuni yang memvonis AG hukuman pidana 3,5 tahun di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Menurut Dian, perampasan kemerdekaan anak adalah upaya terakhir dan sesingkat mungkin.
Dian menuturkan usia kurang dari 18 tahun adalah periode perkembangan kepribadian, hubungan emosional dengan sesama, kecakapan sosial dan pendidikan, serta talenta anak. Oleh karenanya UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) memberikan banyak pilihan lain dalam pidana pokok untuk perkara anak, dan menempatkan pidana penjara sebagai urutan terakhir.
“Artinya paradigma keadilan restoratif yang mendukung pemulihan anak harus digunakan dalam membuat putusan perkara,” katanya.
KPAI mengapresiasi penempatan AG di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) selama proses hukum karena anak mendapatkan pendampingan psikososial oleh psikolog dan pekerja sosial. “Namun, vonis AG berupa pidana penjara di LPKA justru menghambat keberlanjutan rehabilitasi psikososial anak. Karena keterbatasan sarana kamar anak perempuan dan belum adanya psikolog di LPKA,” ujar Dian.
KPAI mengkritik pula wartawan yang mengerumuni AG selama pemeriksaan di Kepolisian. Menurut keterangan psikolog pendamping AG, peristiwa itu membuat dia trauma.
“Selain itu, berdasarkan keterangan kuasa hukum, terdapat beberapa surat terdakwa Mario kepada AG yang difasilitasi oknum penyidik menjadi konsumsi publik. Setiap anak yang berhadapan hukum memiliki hak untuk dihindarkan dari publikasi identitasnya dan pemberian kehidupan pribadi,” katanya.
Selanjutnya: Enam rekomendasi KPAI