TEMPO.CO, Jakarta - Museum Nasional mengalami kebakaran pada Sabtu, 16 September 2023 lalu. Hingga saat ini proses penyelidikan tentang penyebab kebakaran pada Sabtu malam itu masih berlangsung.
Data terkini dari Tim Khusus Penanganan Unit Museum Nasional Indonesia (MNI) menyebutkan telah mengidentifikasi 243 koleksi dari 817 koleksi yang terkena dampak insiden kebakaran tersebut.
Tempo menemui Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia (UI) Agus Aris Munandar untuk menanyakan tentang dampak kebakaran terhadap koleksi Museum Nasional.
Agus mengungkap aspek yang dapat dinilai dalam sebuah artefak, yakni kronologi dan ornamen.
"Dari sisi kronologi ya, makin tua kan makin langka. Dari ornament, makin indah itu kan makin berharga, ada banyak informasi di situ," kata Agus kepada TEMPO, Selasa, 19 September 2023.
Selain dua aspek di atas, Agus juga menjelaskan bahwa nilai sebuah artefak terletak pula pada bahan dasar yang membentuknya serta kelengkapan dari artefak tersebut.
"Bahan juga mempengaruhi sih, kayak emas dan perunggu misalnya. Ada juga kelengkapan, misalnya Arca. Arca lengkap, tangannya utuh, kakinya utuh, tentu lebih berharga ya daripada arca yang patah gitu ya. Jadi, kelengkapan artefaknya itu. Semakin utuh, semakin berharga, lanjut Agus.
Agus turut menekankan bahwa di antara berbagai aspek dalam menilai artefak, ornamen merupakan aspek utama yang menentukan informasi sejarah.
"Dari arkeologi sih lebih kepada bentuk dan ornamen yang mempunyai banyak informasi. Tentu saja prasasti lebih bagus. Prasasti kan informasinya lebih banyak ya. Aksara jawa kuno lebih banyak. Jadi, banyak bagian yang menyebabkan dia berharga. Benda arkeologi itu univum, unik, hanya satu saja," jelasnya.
Perihal nilai sejarah yang tersimpan dalam artefak yang terdampak kebakaran, Agus menilai bahwa kerusakan yang terjadi turut mengurangi nilai benda sejarah itu. Lebih lanjut, ia juga menekankan bahwa peniruan atas artefak yang telah hancur merupakan pemalsuan.
"Jelas sangat mengurangi (nilai sejarah). Walaupun dia tidak hancur tapi tangannya aja rusak atau patah, sangat mengurangi kan. Dari segi estetis akan mengurangi. Benda-benda arkeologi bukan benda yang terbarukan. Itu yang membuatnya jadi berharga, sering disebut tiada terhingga harganya itu karena tiada terbarukan, bukan benda yang bisa dibuat ulang. Kalau rusak ya sudah rusak, nggak ada buatan baru. Kalau buatan baru namanya pemalsuan," katanya.
Pilihan Editor: Tim Khusus Temukan 243 Koleksi Museum Nasional Terkena Dampak Kebakaran Gedung