TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior Faisal Basri memberikan kesaksiannya sebagai saksi ahli ekonomi politik dalam sidang lanjutan pendiri Lokataru Haris Azhar dan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti atas dugaan pencemaran nama baik Luhut Binsar Pandjaitan. Sidang terbuka ini digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, pada Senin, 30 Oktober 2023.
Faisal Basri banyak berbicara soal industri ekstraktif dan praktik-praktik konflik kepentingan di Indonesia dalam kesaksiannya. Ia menyebut pernah mengingatkan secara langsung ke Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan perihal konflik kepentingan.
"Saya pernah ketemu Pak Luhut. Saya bilang, masalah bapak itu satu, konflik kepentingan," kata Faisal di sidang pada Senin, 30 Oktober 2023.
Menurut dia, sebagai seorang menteri yang mengelola tentang industri ekstraktif ini, kebijakan-kebijakannya memiliki potensi yang menimbulkan konflik kepentingan. Ia mengilustrasikan pada pendapatan ekspor batu bara.
"Rp 1000 triliun pendapatannya di tahun 2022. Itu seperempat dari total penerimaan ekspor kita. Dahsyat Yang Mulia, seperempat (pendapatan) disumbangkan oleh satu kelompok barang," ucapnya.
Kemudian, Faisal membandingkan dengan negara kapitalis seperti Amerika Serikat, Australia, dan seluruh negara Uni Eropa. Ia mengatakan, bahwa negara-negara kapitalis itu mengenakan pajak yang disebut durian runtuh atau win fall tax, sehingga negara bisa ambil pajak itu. Ia kembali memberi contoh negara Mongolia, yang 70 persen pajak batu bara dinikmati negara.
Sementara, katanya, di Indonesia tidak seperti itu. "100 persen rezeki durian runtuh itu dinikmati oleh penguasa batu bara, tidak ada (pajak) yang diambil oleh negara," ucapnya.
"Saya usul ke Menkomarves, Menteri Perekonomian, Menteri ESDM, dan yang lain-lain, kita mengenakan pajak durian runtuh," katanya. Faisal mengungkapkan, usulan tersebut direspons oleh Luhut, yang mengatakan akan dia bicarakan dengan Menteri Perekonomian.
Ia menambahkann, "Tapi sampai sekarang enggak ada. Saya lupa Pak Luhut punya batu bara. Itulah sebenarnya konflik kepentingan yang sangat nyata,"ujar dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini.
Tak hanya soal insentif pemajakan yang diberikan kepada industri para penguasa dan pengusaha itu, kata Faisal, bentuk konflik kepentingan juga bisa berupa perubahaan undang-undang. "Misalnya saya punya kuasa, maka saya ubah UU itu lewat DPR, jadi sangat cepat," tuturnya.
Ia mengatakan, UU yang dimaksud adalah UU Mineral dan Batu bara atau Minerba. Ia menilai jika batu bara menciptakan polusi, mengeluarkan debu, dan masuk dalam kategori limbah berbahaya.
Namun, Faisal mengatakan, dalam UU terbaru (Perpu Omnibus), batu bara itu tidak lagi dianggap berbahaya. "Itu undang-undang keluar, demi kepentingan seseorang," katanya.
Di akhir persidangan, jaksa penuntut umum meminta kepada Majelis Hakim yang dipimpin Cokorda Gede Arthana, memberi waktu selama dua minggu untuk menyusun surat tuntutan.
Majelis Hakim kemudian mengamini permintaan tersebut. Kuasa hukum Haris Azhar-Fatia juga tidak keberatan atas usulan tersebut. Sehingga sidang ditutup untuk kemudian dilanjutkan pada pembacaan tuntutan oleh jaksa pada 13 November 2023 mendatang.
Pilihan Editor: Sidang Haris Azhar dan Fatia Hari Ini Hadirkan 2 Saksi Ahli Hukum Pidana dan Lingkungan