TEMPO.CO, Jakarta - Film Dirty Vote resmi dirilis pada 11 Februari 2024 melalui kanal resmi YouTube Dirty Vote. Film dokumenter ini disutradarai oleh Dandhy Laksono yang mengungkap soal dugaan kecurangan pada Pemilihan Umum atau Pemilu 2024.
Film ini dibintangi oleh tiga Ahli Hukum Tata Negara, yakni Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari. Ketiganya memaparkan sejumlah data dan mengurai pelanggaran hukum pada Pemilu 2024 saat ini. Mereka juga menjelaskan potensi-potensi kecurangan berdasarkan kacamata hukum di Indonesia.
Dokumenter yang berisi tiga pandangan dari para ahli tersebut berdurasi 1 jam 55 menit 22 detik. Tayang perdana pada pukul 11.39, Dirty Vote dibuka oleh wawancara singkat ketiga pakar mengenai alasan keterlibatannya dalam film ini.
“Saya mau terlibat dalam film ini karena banyak orang yang akan makin paham, bahwa memang telah terjadi kecurangan yang luar biasa. Sehingga Pemilu ini tidak bisa dianggap baik-baik saja,” kata Bivitri pada bagian pembuka film tersebut.
Lantas, seperti apa isi film Dirty Vote tersebut? Simak rangkuman informasi selengkapnya beriku ini.
Isi Film Dirty Vote
Terdapat sejumlah poin yang dipaparkan dalam film Dirty Vote. Di antaranya ihwal kecurangan melalui penunjukan 20 penjabat (PJ) Gubernur dan Kepala Daerah, tekanan untuk kepala desa agar mendukung kandidat tertentu, penyaluran bantuan sosial atau Bansos yang berlebihan, serta kejanggalan dalam hasil sidang putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Film ini dibuka dengan kumpulan video yang memperlihatkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengatakan bahwa anak-anaknya tidak ada yang tertarik untuk terjun ke dunia politik karena masih fokus membuka berbagai jenis usaha. Namun kemudian, diperlihatkan video deklarasi Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka–yang merupakan anak sulung Presiden Jokowi–sebagai pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada Pemilu 2024.
Ahli Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar kemudian menjelaskan tentang narasi Pemilu satu putaran yang digaungkan oleh tim sukses pasangan capres-cawapres nomor urut dua, yakni Prabowo-Gibran. Dia menilai apabila Pilpres 2024 berjalan dua putaran, maka ada potensi kekalahan akan dialami oleh Prabowo-Gibran, yang saat ini memimpin dalam berbagai survei.
Akademisi Hukum Universitas Andalas Feri Amsari juga membeberkan kejanggalan penunjukan sejumlah PJ kepala daerah sejak 2021 lalu. Dijelaskan ada 20 PJ Gubernur yang dipilih oleh presiden dan 182 PJ Walikota/ Bupati yang dinilai Komisi Informasi Pusat (KIP) dan Ombudsman sebagai mala praktik administrasi. Adapun para penyelenggara negara tersebut menguasai sekitar 140 juta daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2024 di berbagai wilayah di Indonesia.
Pemilihan Gubernur oleh Presiden juga berpotensi adanya kecurangan dan penyalahgunaan wewenang oleh kepala daerah. Salah satunya satunya adalah soal ketidaknetralan penyelenggara negara dalam pelaksanaan kampanye Pilpres 2024. Misalnya, pencopotan baliho Ganjar-Mahfud di Bali, hingga pencabutan izin kampanye Anies Baswedan di berbagai daerah.
Belum lagi sejumlah organisasi desa yang menyatakan dukungannya kepada salah satu paslon pada Pilpres 2024. Organisasi desa yang diisi hampir 81 juta suara ini berpotensi menyalahgunakan jabatannya dalam data pemilihan, penggunaan dana desa, data penerima bansos, hingga wewenang alokasi bansos.
Dibeberkan juga sejumlah bukti rekaman suara yang menyatakan ada arahan agar para kepala desa memenangkan salah satu capres dengan berbagai cara. Selain itu, ada juga intervensi dari aparat keamanan kepada sejumlah kepala desa yang tersangkut masalah korupsi dana desa.
Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti kemudian memaparkan tentang anggaran bansos yang terus meningkat setiap kali menjelang Pemilu. Mulai dari 2014, 2019, hingga 2024 ini. Dia juga menyampaikan bahwa ada dugaan politisasi bansos yang dilakukan oleh sejumlah menteri guna menggaet suara masyarakat untuk paslon tertentu.
Selain penyalahgunaan bansos, ada juga berbagai kecurangan dan penyelewengan dalam pelaksanaan Pemilu yang diungkap oleh film Dirty Vote ini. Di antaranya adalah penggunaan fasilitas negara untuk kampanye, ketidaknetralan Presiden dan sejumlah menteri, hingga berbagai pelanggaran aturan Pemilu yang tidak ditindak oleh Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu.
Tak berhenti sampai disitu, dibongkar juga bukti-bukti sejumlah partai politik yang tidak memenuhi syarat verifikasi di Komisi Pemilihan Umum (KPU), namun “diloloskan” dengan berbagai permainan gelap dari sejumlah oknum.
Menuju akhir film, dokumenter yang berisi kliping sejumlah artikel dan video berita ini menjelaskan rentetan peristiwa menjelang putusan MK terkait batas usia dan persyaratan pencalonan calon presiden dan calon wakil presiden pada Pemilu. Hal inilah yang dinilai menjadi karpet merah untuk Gibran maju dalam Pilpres 2024.
Bivitri juga mengungkapkan bahwa seluruh rencana kecurangan Pemilu ini tidak dibuat dalam semalam oleh satu orang. Sebagian besar rencana kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif untuk mengakali Pemilu ini, kata dia, sebenarnya disusun bersama dengan pihak-pihak lain. Mereka adalah kekuatan yang selama 10 tahun terakhir berkuasa bersama.
“Sebenarnya ini bukan rencana atau desain yang hebat-hebat amat. Skenario seperti ini dilakukan oleh rezim-rezim sebelumnya di banyak negara dan sepanjang sejarah. Karena itu, untuk menyusun dan menjalankan skenario kotor seperti ini, tak perlu kepintaran atau kecerdasan. Yang diperlukan cuma dua, yakni mental culas dan tahan malu,” ucap Bivitri.
RADEN PUTRI
Pilihan Editor: Beda Respons Timnas Amin, TKN Prabowo-Gibran, dan TPN Ganjar-Mahfud soal Dirty Vote