Wahyu menilai peristiwa anyar di Pakel tersebut juga bukanlah pertama kalinya terjadi. Walhi Jawa Timur mencatat sudah ada puluhan intimidasi dan kriminalisasi oleh PT Bumi Sari terhadap warga buntut konflik agraria perusahaan dengan petani.
“Kasus ini bagian utuh dari konflik agraria di Desa Pakel,” kata Wahyu.
Tak hanya itu, Wahyu beranggapan para petani Pakel itu memperjuangkan hak atas tanah mereka yang diserobot PT Bumi Sari. Dalam sengketa ini, menurut Wahyu ada ketimpangan penguasaan lahan karena Badan Pertanahan Negara atau BPN Banyuwangi menerbitkan HGU yang menyerobot lahan petani.
“Tapi pemberi izin HGU tidak pernah melihat faktor ketimpangan penguasaan lahan dan sosial, tertutup, dan tidak partisipatif,” kata Wahyu.
Padahal, kata dia, tugas negara harus memastikan ketimpangan tersebut memihak kepada petani atau warga, bukan pada korporasi. “Sesuai mandat UUPA 60 dan UUD NRI 1945,” kata dia.
Konflik Agraria di Desa Pakel itu memiliki sejarah yang panjang. Dimulai pada masa kolonial Belanda, sekitar 1925. Ketika itu tujuh warga mendapat izin membuka lahan seluar 3.200 hektar dari Bupati Banyuwangi, Noto Hadi Suryo. Adapun bentuk izin dituangkan dalam Akta 1929. Pada 2965, warga sempat meninggalkan lahan karena meletus peristiwa pemberontakan PKI. Pada tahun yang sama, PT Bumi Sari Maju Sukses datang dan mengklaim lahan di Desa Pakel itu.
Kementerian Dalam Negeri pada Desember 1985 menerbitkan surat keputusan bernomor 35/HGU/DA/85 dengan keterangan PT Bumi Sari mengantongi hak guna usaha atau HGU 11.898.100 meter persegi yang terbagi atas dua sertifikat, yaitu Sertifikat HGU Nomor 1 di wilayah Kluncing dan Nomor 8 di Songgon. Tidak ada HGI yang berlokasi di Desa Pakel. Keputusan ini diperkuat dengan surat Badan Pertanahan Nasional Banyuwangi Nomor 280/600.1.35.10/11/2018 yang menyatakan Desa Pakel tidak masuk dalam HGU PT Bumi Sari.
Warga merasa sebagai pemilik sah dari lahan tersebut menggunakan Surat Izin Membuka Lahan yang dikeluarkan pada tahun 1929 yang disahkan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Dalam dokumen lawas tersebut, leluhur warga Desa Pakel diberi izin mengelola lahan seluas 4000 bau.
“Perusahaan tidak memiliki HGU dan menyerobot lahan warga,” kata Alvina.
Sebelum terjadi pengeroyokan pada Ahad malam, Alvina bercerita sejak siang telah terjadi adu tegang antara warga dengan pihak perusahaan. Alvina menyebut perusahaan melalui orang diduga preman, bekas tentara, dan beberapa sekuriti menebangi pohon dan tanaman siap panen milik warga.
“Lumayan banyak jumlahnya,” kata dia.
Hingga berita ini diterbitkan, Tempo belum berhasil mendapatkan konfirmasi dari PT Bumi Sari Maju Sukses tentang peristiwa ini.
Konflik agraria meningkat akibat proyek strategis nasional Presiden Jokowi