TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengimbau kepada jajaran kepolisian agar tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyikapi demonstrasi terutama saat ada keterlibatan anak-anak. Mereka pun meminta polisi untuk menerapkan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam memproses hukum anak-anak yang ditangkap karena terlibat aksi demonstasi.
Ketua KPAI Ai Maryati Solihah meminta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, hingga dinas terkait lainnya memberi perlindungan pemulihan anak-anak terutama yang tertangkap dan diperiksa oleh aparat kepolisian saat aksi demonstrasi Kawal Putusan MK pekan lalu. “Maupun anak-anak yang dievakuasi ke rumah sakit terdekat,” kata Ai saat konferensi pers di kantornya pada Rabu, 28 Agustus 2024.
Ai menjelaskan, pihaknya mencatat sebanyak 108 pelajar ditangkap saat melakukan aksi demonstransi Kawal Putusan MK. Penangkapan itu terbagi di beberapa kota, diantaranya: 7 anak ditangkap di wilayah Polda Metro Jaya, 78 anak ditangkap di Polres Jakarta Barat, 22 anak ditangkap di Semarang, Jawa Tengah, dan 1 anak ditangkap di Makassar, Sulawesi Selatan.
Berdasarkan temuan KPAI di lapangan, menurut dia, para pelajar itu mengalami aksi kekerasan fisik dari aparat kepolisian saat ditangkap, mulai dari dicekik, dipukul, hingga terkena gas air mata.
Saat pemeriksaan, mereka tidak diberi makan, dibiarkan tidak menggunakan alas kaki di ruangan ber-AC. “Mereka diperiksa cukup lama ya dari malam hingga menjelang subuh,” jelas ketua KPAI itu.
Meski demikian, seluruh pelajar yang ditangkap sudah dipulangkan kembali kepada keluarga masing-masing, tidak ada yang ditahan.
KPAI menyayangkan polisi belum sepenuhnya optimal mengamankan aksi demonstrasi dengan melibatkan tim pengamanan dari polisi wanita atau unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA). “Anak-anak yang terlibat dalam aksi rentan alami kekerasan fisik, psikis, hingga keselamatan nyawa,” tutur Ai.