TEMPO.CO, Banda Aceh - Kepolisian Resot Banda Aceh memulangkan 16 pengunjuk rasa yang sebelumnya ditangkap karena memasang spanduk provokatif di depan kantor DPR Aceh. Para demonstran ini adalah anggota Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat (SMUR).
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Banda Aceh Komisarus Fadilah Aditya Pratama mengakan, pemulangan pengunjuk rasa sudah dilakukan sejak 31 Agustus 2024. "Semuanya sudah dikembalikan ke keluarga sejak pagi tadi, termasuk enam orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka," kata Fadilah dikutip laman Polda Aceh, Senin, 2 September 2024.
Fadilah menyebut, para mahasiswa yang tergabung dalam SMUR itu telah membuat surat pernyataan untuk tidak mengulangi tindakan serupa di masa depan. Pernyataan tersebut ditandatangani dan disaksikan langsung oleh pihak-pihak yang datang menjemput mereka. "Khusus untuk para tersangka, mereka diwajibkan melapor ke Polresta Banda Aceh satu kali dalam seminggu hingga proses penyidikan selesai," kata dia.
Fadilah juga menjelaskan bahwa selama pemeriksaan, para demonstran tidak pernah ditahan secara resmi. Mereka hanya ditempatkan di ruang pemeriksaan di bawah pengawasan petugas, menunggu keluarga dan pihak lainnya datang untuk menjemput.
"Ini demi keamanan mereka, terutama karena ada yang berasal dari luar Banda Aceh, seperti Lhokseumawe dan Medan, Sumatera Utara," ucapnya. Perlakuan ini, menurut Fadilah, dilakukan atas dasar persetujuan keluarga demi menjaga keselamatan para demonstran yang berada jauh dari tempat tinggal mereka.
Sebelumnya, Polresta Banda Aceh menahan 16 orang pengunjuk rasa di kantor DPR Aceh. Enam di antaranya ditangkap karena diduga memasang spanduk provokatif dan menyebarkan ujaran kebencian yang ditujukan kepada institusi Polri. Kapolresta Banda Aceh Komisaris Besar Fahmi Irwan Ramli menjelaskan, penangkapan ini dilakukan karena para demonstran dianggap telah mengganggu ketertiban umum dan berpotensi menciptakan kericuhan.
Enam orang yang dijadikan tersangka itu diketahui memasang spanduk berisi tulisan provokatif seperti 'polisi pembunuh', 'polisi biadab', dan 'pelanggar HAM di Aceh: militer dan negara' di beberapa jembatan penyeberangan orang di Banda Aceh.
Fahmi mengatakan, para demonstran mengklaim ingin menyampaikan aspirasi rakyat sebagai bentuk kebebasan berekspresi. Namun, lanjut dia, itu hanyalah kedok untuk tujuan yang lebih berbahaya. "Dari pendalaman kami, faktanya, mereka ingin membuat kerusuhan di Banda Aceh," katanya. Dari 16 orang yang ditangkap, polisi mengungkap tujuh di antaranya dinyatakan positif menggunakan ganja berdasarkan hasil tes urine.