TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Operasional LBH Banda Aceh, Muhammad Qodrat mengatakan, sedang bersiap mengajukan praperadilan untuk menantang keabsahan penetapan tersangka terhadap keenam mahasiswa saat demonstrasi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), 29 Agustus 2024. Upaya tersebut dilakukan LBH Banda Aceh selaku kuasa hukum apabila kasus ini tetap berlanjut.
"Kami yakin, jika kasus ini sampai ke pengadilan, mahasiswa akan diputus tidak bersalah karena penggunaan pasal yang tidak tepat," kata Qodrat saat dihubungi Rabu, 11 September 2024. Bukan tanpa alasan, sebab berdasarkan fakta, menurut dia, penyelidikan yang dilakukan Polresta Banda Aceh cacat prosedur, baik dari segi penetapan tersangka maupun penahanan hingga penyitaan barang bukti.
Soal proses hukum lanjutan, Qodrat mengatakan pihaknya saat ini tengah melakukan drafting praperadilan dengan mengumpulkan alat-alat bukti. Dia menyebut, kuasa hukum kesulitan untuk menyusun permohonan tersebut lantaran pihak kepolisian tidak pernah membuat surat resmi dalam kasus ini. Bahkan, salah satu dari keenam mahasiswa yang ditetapkan tersangka, tidak pernah di-BAP. “Tidak pernah ada satu surat, apakah itu terkait penahanan, penetapan sangka, maupun penyitaan barang bukti,” tutur dia.
Menurut Qodrat, Polresta Banda Aceh melakukan kriminalisasi dan menyalahgunakan kewenangan. Berbicara soal kedua Pasal yang menjerat keenam mahasiswa itu, tuturnya, dianggap sangat dipaksakan karena Pasal 156 berfokus pada ujaran kebencian terhadap ras, etnis, dan agama. Kemudian Pasal 157 soal penyebarluasan kebencian terhadap satu golongan penduduk atau masyarakat.
Dia menegaskan bahwa polisi juga bukan seseorang, melainkan alat negara atau institusi yang berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Sebab, tugas kepolisian meliputi penegakkan hukum, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam memelihara keamanan negara.
Qodrat menyebut, kritik terhadap institusi negara tidak tepat dianggap sebagai ujaran kebencian. Ketentuan pidana ujaran kebencian terhadap Pemerintah Indonesia juga sudah dihapus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 6/PUU-V/2007 pada 2007.
Upaya pembelaan lain yang dilakukan oleh kuasa hukum para tersangka, Qodrat mengatakan, pihaknya juga telah melaporkan Kapolresta Banda Aceh dan Kepala Satuan Reserse Kriminalnya ke berbagai lembaga pengawas, di antaranya Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan atau Kadiv Propam Polri, Inspektorat Pengawasan Umum atau Irwasum, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM teranggal 9 September 2024. Serta, menyurati Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) pada 10 September. Namun, hingga saat ini, belum ada respons dari instansi-instansi tersebut.
Tindakan Polresta Banda Aceh yang dinilai melanggar hak mahasiswa untuk mendapatkan bantuan hukum juga menjadi poin penting dalam upaya pembelaan ini. "Kami sudah mencoba memberikan pendampingan hukum, namun dihalang-halangi. Akibatnya, para mahasiswa terpaksa menandatangani surat pernyataan tanpa pendampingan kuasa hukum," ujar Qodrat. Dia mengatakan, tindakan tersebut merupakan salah satu pelanggaran serius terhadap hak asasi mahasiswa.
Qodrat mendapat informasi adanya dugaan pelanggaran prosedur oleh kepolisian. Dari keterangan 16 orang lain yang ditangkap, di antaranya mengalami penyiksaan saat diamankan di Markas Polresta Banda Aceh. Selain itu, penyitaan barang mereka juga dilakukan tanpa adanya bukti berita acara penyitaan. Bahkan sampai dengan hari ini barang-barang mahasiswa itu belum juga dikembalikan.
"Penyitaan ini tidak sesuai prosedur, karena tidak ada satu pun surat yang diberikan, baik terkait penahanan maupun penyitaan," katanya. LBH Banda Aceh melihat bahwa kasus ini sarat dengan pelanggaran prosedur hukum yang berpotensi kuat untuk dipertanyakan sebagai materi di praperadilan nanti.
Pilihan Editor: Cerita Mahasiswa Demonstran di DPRA Alami Intimidasi dan Penyiksaan di Polresta Banda Aceh