TEMPO Interaktif, Jakarta -Sekitar lima puluh warga Sunter, Jakarta Utara, unjuk rasa di depan Balai Kota DKI Jakarta, siang ini. Mereka menuntut Pemerintah Provinsi DKI untuk membayar janji menyelesaikan sengketa tanah di Sunter.
“Kami merasa dibohongi Pemerintah. Sampai sekarang belum ada tanggapan dari mereka meski kami sudah berulang kali mengirimkan surat permohonan penyelesaian ke gubernur,” kata koordinator aksi, Irwansyah.
Sengketa bermula pada 1993. Lahan berupa sawah seluas 4,2 hektare milik Abdoel Hamid, warga RW 04 Kelurahan Sunter Jaya, Jakarta Utara, tiba-tiba diuruk oleh PT. Indofica Housing. Perusahaan itu mengklaim memiliki surat perjanjian kerjasama operasional dengan Pemerintah Provinsi DKI per 7 April 1993. Tanah itu ada dalam penguasaan PT. Agung Podomoro, dan digunakan untuk perumahan mewah, serta sarana rekreasi dan olahraga.
Merasa tanahnya diserobot, para ahli waris Abdoel Hamid menanyakan status kepemilikan tanah pada PT. Agung Podomoro. Namun pihak perusahaan menyatakan bahwa tanah itu merupakan tanah Badan Pengawas Pelaksana Pembangunan Lingkungan (BP3L) Sunter dan dikuasai oleh Agung Podomoro atas dasar adanya perjanjian kerjasama Pemprov DKI-Indofica.
“Padahal kami punya akta Eigendom Verponding, sebagai bukti kepemilikan. Syarat-syarat kami lengkap, lah,” kata Irwansyah, kuasa ahli waris Abdoel Hamid. Ahli waris Abdoel Hamid merasa tak pernah melakukan transaksi penjualan tanah dengan pihak mana pun.
Menurut Irwansyah, berbagai langkah sudah pernah ditempuh ahli waris. Pada 13 Desember 1994, mereka pernah bertemu Gubernur DKI saat itu, Surjadi Soedirdja. “Pada pertemuan itu Pak Surjadi meminta PT Indofica membayar ganti rugi tanah pada kami,” ujarnya.
Pada 1998, PT Indofica pun lantas mengundang Irwansyah dkk, dan Direktur Utamanya, Trihatma K Haliman, mengatakan akan membayar gantu rugi. Namun setelah itu, tak ada kelanjutannya. Pengacara PT Indofica justru mempersilakan Irwansyah dkk lapor ke pengadilan untuk menggugat tanah itu.
Pemprov DKI pada November 2006 akhirnya memfasilitasi mediasi antara ahli waris Abdoel Hamid dengan PT Indofica. Namun setelah itu, tak ada kelanjutan proses penyelesaian sengketa tanah. “Kami tetap ingin tanah kami dikembalikan." Jika tidak bisa, Irwansyah menginginkan ganti rugi. Menurut dia, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di lahan sengketa itu bisa mencapai Rp 10 juta per meter persegi.
Subianti, ahli waris Abdoel Hamid, merasa kecewa dengan sikap Pemprov DKI yang tak kunjung memenuhi janjinya untuk menyelesaikan sengketa. “Saya ingin tanah kami dikembalikan,” kata perempuan 45 tahun, cucu Abdoel Hamid, yang kini akhirnya terpaksa tinggal di pinggir rel kereta api di kawasan Kebon Baru, Jakarta Selatan.
ISMA SAVITRI