TEMPO.CO, Jakarta -- Empat benda artefak purbakala diduga dicuri dari Museum Nasional atau Museum Gajah, Gambir, Jakarta Pusat, pada Rabu, 11 September 2013. Pencurian artefak berlapis emas ini memunculkan spekulasi "mafia" artefak dan benda purbakala berkeliaran.
Invertigasi majalah Tempo, 28 September 2008 pernah mengulas soal benda purbakala ini berjudul "Lambang dalam Pusaran Mafia Purbakala".
Lambang merupakan arkeolog yang tewas di selokan jalan lingkar luar utara Yogyakarta pada Subuh Februari 2008. Kematian pria 56 tahun itu memantik banyak pertanyaan. Ketika itu, Lambang Babar Purnomo sedang getol membongkar jaringan pencurian benda-benda purbakala, mulai fosil situs Sangiran sampai koleksi Museum Radya Pustaka, Surakarta.
Sumber-sumber Tempo yakin Lambang dibunuh karena upayanya membongkar kejahatan menyangkut benda purbakala. Ia dikenal vokal, tak kenal kompromi, dan berani. Publikasi soal stegodon, rekomendasinya tentang pemugaran situs Ungaran, dan kegigihannya membongkar pencurian koleksi Radya Pustaka adalah sederet aktivitas Lambang sebelum meninggal.
Rekomendasi Lambang hampir menghentikan alih fungsi situs Sarkostik di Ungaran, Semarang. Padahal, alih fungsi gedung kesenian bikinan Belanda pada 1910 itu menjadi mal sudah berjalan. Pemugaran pun sempat mangkrak. Departemen Kebudayaan kemudian memutuskan pembangunan mal jalan terus asalkan gedung utama tak diusik. "Urusan sarkostik sudah beres," kata Dede Odi, Direktur Umum PT Hardas Bangun Persada, kontraktor proyek.
Ada yang menduga pembunuh Lambang kelompok runner yang tak mau bisnisnya diusik. Runner adalah sebutan khas di dunia arkeologi untuk makelar. Posisinya ada di antara pemilik barang, galeri, balai lelang, dan kolektor.
Sebagai operator lapangan, runner menggarap semua pekerjaan "kotor", mulai dari membayar informan, memalsukan barang, menyuap pamong, memberi polisi amplop, jika perlu "membungkam" pihak-pihak pengganggu. Pendeknya, runner bertugas menjamin benda kuno sampai dengan aman ke tangan kolektor.
Lambang bukan tak sadar ia bisa terjepit dalam pelbagai kepentingan dalam mata rantai itu. "Aku sudah siap dengan segala risiko," katanya kepada Andrea Amborowatiningsih. Andrea, 25 tahun, bekas pegawai Radya Pustaka yang melaporkan hilangnya koleksi museum ke Balai Pelestarian.
Lambang, kata Andrea, bersemangat mengungkap perdagangan arca perunggu karena ini kasus besar dalam dunia arkeologi Indonesia. Pada November 2007, inventarisasi Balai Pelestarian menemukan koleksi yang hilang sebagian besar patung langka. Dewi Cunda dan Dyani Bodisatwa Avalokiteshvara, misalnya. Patung dewi kebajikan dari abad ke-8 bertangan delapan ini hanya ada di Indonesia dan India. Seorang kolektor menaksir harga Cunda bisa tembus Rp 20 miliar di balai lelang.
Jadi, siapa yang membunuh Lambang? Seorang reserse berkata kepada Tempo, "Itu urusan lima menit, jika mau," katanya. Polisi bisa melacak identitas lelaki bergegas pergi yang dilihat saksi Erni Permatasari pagi itu. "Saya heran, ada orang minta tolong, kok, dia malah jalan buru-buru," kata Erni. Namun, hingga kini belum ada kejelasan apakah Lambang dibunuh atau sekadar sial jatuh dari sepeda motor.
TEMPO
Terhangat:
Pencurian Artefak Museum Gajah | Penembakan Polisi | Tabrakan Anak Ahmad Dhani
Berita terkait:
Pencurian Museum Gajah, Pelaku Diduga Mencongkel
Inilah Empat Artefak Hilang di Museum Gajah
Hashim Djojohadikusumo Masih Simpan Puluhan Benda Purbakala