TEMPO.CO , Jakarta - Sosiolog Universitas Negeri Jakarta Robertus Robet mengatakan bahwa pemulung tidak termasuk kelompok penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). "Pekerjaan pemulung termasuk kerja mandiri produktif dan tidak bisa digolongkan sebagai PMKS," kata Robertus Robet ketika dihubungi Antara di Jakarta, Jumat, 17 April 2015.
Menurut Robertus, para pemulung memang tergolong warga miskin. Namun mereka tetap bekerja dan bukan mengemis. "Jangan membuat kategori-kategori menyudutkan yang justru bisa menyulitkan pemulung melakukan aktivitasnya," ujar dia.
Ujar Robertus, perlu ada perubahan paradigma pemerintah dan masyarakat terkait dengan pemulung. "Selama ini pemerintah dan sebagian masyarakat cenderung bersikap antiorang miskin. Ini sangat disayangkan," tutur dia.
Sementara itu, beberapa pemulung menganggap profesinya justru membantu masyarakat. "Setidaknya kita membantu masyarakat dengan mengurangi sampah," kata Samsul, 50 tahun, pemulung yang ditemui Antara di daerah Rawamangun, Jakarta Timur.
Senada dengan Samsul, Wasriah, seorang pemulung perempuan berusia 70 tahun yang ditemui di daerah Manggarai, Jakarta Selatan, menuturkan tidak seharusnya pemulung menjadi sasaran penertiban oleh pemerintah.
"Pemulung itu hanya bekerja, mengumpulkan sampah yang sudah dibuang oleh masyarakat. Kami tidak mencuri dan melakukan sesuatu yang salah," ujar Wasriah yang berasal dari Jawa Tengah tetapi memiliki kontrakan di Jakarta.
Sebelumnya, Dinas Sosial DKI Jakarta menyatakan tidak semua pemulung dikategorikan sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). "Pemulung yang digolongkan PMKS adalah mereka yang tunawisma, yaitu yang tidur di gerobak-gerobak, pinggir-pinggir jalan, emperan-emperan toko dan semua tempat yang dilarang peraturan daerah (perda)," kata Kepala Seksi Rehabilitas Sosial Tuna Sosial Dinsos DKI Jakarta Prayitno.
Menurut Prayitno, peraturan daerah yang dilanggar adalah Perda DKI Jakarta Nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Dalam Bab IV Pasal 20 disebutkan bahwa setiap orang atau badan dilarang membangun dan/atau bertempat tinggal di pinggir dan di bawah jalan layang rel kereta api, di bawah jembatan tol, jalur hijau, taman dan tempat umum."
ANTARA