TEMPO.CO, Jakarta - Khatib Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarta Kiai Haji Ahmad Zahari menganjurkan warga Jakarta memisahkan permasalahan pilkada Jakarta dengan ajaran agama. Zahari menuturkan agama selalu menganjurkan kebaikan. “Tapi harus dipisahkan dengan pilihan pemimpin,” ujar Zahari melalui siaran pers seusai diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 30 Maret 2017.
Komentar itu dilontarkan Zahari sebagai respons rencana Forum Umat Islam (FUI) yang akan menggelar demonstrasi kesekian kali bernama 313 pada Jumat, 31 Maret 2017. Dia meminta semua pihak mampu menahan diri dan mengedepankan kepentingan bangsa.
Baca: Ada Format Baru di Putaran Dua Pilkada DKI, Seperti Apa?
“Kami mengimbau memilih semua. Siapa saja yang disenangi, coblos,” kata Zahari. Dia mengimbau masyarakat memilih pemimpin sesuai dengan keinginan hati, bukan berdasarkan desakan atau anjuran siapa pun. Meski saat ini kondisi politik di Jakarta sedang memanas.
Dia juga menyinggung terkait dengan adanya tempat ibadah yang digunakan sebagai ajang kampanye. Termasuk kelompok yang menyerang perbedaan tafsir antara memilih pemimpin muslim atau melarang memilih pemimpin muslim. Menurut dia, rumah ibadah adalah tempat publik sehingga tak bisa digunakan untuk orasi politik. Apalagi khotbah berisi kebencian.
Baca Juga:
Baca: Rais Syuriah NU: Muslim Boleh Pilih Pemimpin Nonmuslim
Dia melanjutkan, permainan politik identitas dan berbau agama sangat kental dalam pilkada DKI Jakarta. Belum lama ini terpasang spanduk bernada provokatif yang secara tidak langsung membuat masyarakat Jakarta tidak memilih pasangan calon gubernur dan wakil gubernur tertentu.
Intelektual muda Nahdlatul Ulama, Syafieg Hasyim, menyampaikan hal yang sama bahwa kepemimpinan agama tidak sama dengan kepemimpinan politik. "Tugas pemimpin adalah menegakkan keadilan sosial. Tidak bisa disandera dengan kepentingan primordial," kata pria yang akrab disapa Gus Syafieq itu.
Syafieq meminta masyarakat tidak mendasarkan pilihan calon pemimpin dengan agama dalam pilkada DKI Jakarta. Justru yang harus dijunjung adalah norma keadilan.
“Maqosidul syar'i dalam konsep negara adalah manifestasi sifat ilahiah di muka bumi, maka norma yang harus diusung adalah keadilan, cinta kasih, dan kebersamaan,” ucap dia. “Dalam konteks ini, keadilan tidak boleh memihak, baik pada faktor agama, suku, maupun keyakinan.”
Lebih lanjut, Syafieq menegaskan konteks memilih pemimpin adalah berdasarkan kinerja dan gagasan memajukan bangsa. Persoalan pemerintah adalah persoalan masyarakat. Kepemimpinan dipilih berdasarkan sejauh mana seseorang mampu menyejahterakan dan mewujudkan keadilan sosial. Karena itu, rekam jejak pemimpin harus dilihat.
AVIT HIDAYAT