TEMPO.CO, Tangerang -Pengadilan Negeri Tangerang menyidangkan kasus memalsukan keterangan palsu ke dalam akta autentik dengan terdakwa Suryadi Wongso dan Yusuf Ngadiman, Direktur Utama dan Komisaris PT Selembaran Jati Mulya, pada Kamis 5 Oktober 2017.
Dalam persidangan itu tampil dosen Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda, sebagai saksi ahli. Menurut Chairul, memasukan data palsu ke dalam akta notaris merupakan delik formil yang ada dalam pasal 266 KUHP.
"Dan ini merupakan tanggungjawab orang yang meminta membuatkan akta tersebut, ini bagian dari inti yang dapat dibuktikan dalam pasal 266 KUHP," katanya.
Data palsu dalam pembuatan akta tersebut, kata Chairul, dapat menimbulkan kerugian jika digunakan untuk kepentingan orang yang membuat. “Tidak harus sampai merugikan, berpotensi merugikan pun sudah cukup.”
Apalagi, kata Chairul, pelapor saat itu tidak hadir dalam proses pembuatan akta. "Ini jelas yang harus tanggung jawab yang meminta pembuat akta," katanya.
Dua petinggi PT Salembaran Jati duduk di kursi pesakitan setelah sejawat mereka, Adipurna Sukarti melapor ke Mabes Polri. Pengusaha onderdil kendaraan asal Pontianak, Kalimantan Barat itu menjabat sebagai komisaris dengan kepemilikan saham 30 persen dalam perusahaan itu.
Kasus ini berawal ketika Adipurna bekerja sama mendirikan usaha properti dengan Yusuf Ngadiman dan ayah Suryadi Wongso, Salim Wongso pada 1999. Ketika itu, Adipurna menyertakan modal senilai Rp 8,15 miliar. Modal tersebut digunakan untuk membeli lahan tanah seluas 45 hektar di Desa Salembaran Jati Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten.
Adipurna dijadikan pemegang saham pada PT Salembaran Jati Mulya dengan mendapatkan saham sebesar 30 persen, sedangkan Ngadiman dan Salim menerima 35 persen per orang.
Namun selama kerja sama berjalan Adipurna tidak pernah menerima pembagian keuntungan. "Sebagai penyetor modal Rp 8,15 miliar, saya sama sekali tidak pernah menerima keuntungan sepeserpun, dan tak diundang dalam RUPS," kata Adipurna.
Padahal, kata Adipurna, dalam PT Selembaran Jati dia sebagai pemilik saham 30 persen dan menjabat sebagai komisaris. Sejak tahun 1999 hingga 2009, Adipurna tidak mendapatkan keuntungan apapun dalam perusahaan itu.
"Dan tahun 2008 gak tahunya aset perusahaan sudah dijual," katanya.
Padahal, kata dia, dengan menyetor uang Rp 8,15 miliar pada 1999 ia dijanjikan akan mendapatkan tanah seluas 13,5 hektar dari 45 hektar yang dibeli PT Salembaran Jati.
"Saham 30 persen saya dikonversi dengan tanah 13,5 hektar," katanya.
Perhitungannya harga tanah di Kosambi saat itu dihargai Rp 60 ribu permeter. Hal itu, kata dia, tertuang dalam kesepakatan dan perjanjian di atas materai dihadapan notaris.
Adipurna juga tidak mengetahui saat Salim Wongso meninggal dunia mewariskan sahamnya kepada putranya Suryadi Wongso pada 2001.
Pada 2008, Adipurna menerima informasi bahwa Ngadiman dan Suryadi Wongso telah menjual aset PT Salembaran Jati Mulya. Adipurna melaporkan keduanya ke Mabes Polri dengan tuduhan penggelapan dan penipuan.
Pada persidangan sebelumnya, dihadirkan Notaris Rusdiana yang membuat dan menerbitkan akte notaris nomor 80 tahun 2012. Isinya soal perubahan susunan direksi dan Rapat Umum Pemegang Saham PT Selembaran Jati Mulya, yang mengubah nama Salim Wongso menjadi Suryadi Wongso.
Salim mewariskan sahamnya ke anaknya Suryadi.
"Surat keterangan warisnya ada, tapi penetapan Pengadilan tidak ada," kata Rusdiana.
Rusdiana mengakui pada tahun 2009, Ngadiman dan Suryadi datang kekantornya untuk meminta perubahan akte notaris nomor 23 tahun 1999.
"Memang saat itu Adipurna tidak datang, menurut Yusuf Ngadiman, Adipurna akan menyusul tanda tangan. Karena saya percaya dengan Ngadiman jadi akte notaris itu akhirnya disahkan Kemenkumham," kata Rusdiana.
Namun hingga tahun 2012, Adipurna tidak juga menandatangani akte notaris itu, Rusdiana mengatakan, akhirnya pada tahun itu juga akte notaris nomor 80 itu dibatalkan.
Saat ditemui Tempo di Pengadilan Negeri Tangerang pada Rabu 13 September 2017, Yusuf Ngadiman dan Suryadi Wongso membantah tuduhan teman sejawatnya itu.
"Semua itu tidak benar," kata Suryadi.
Menurut Suryadi dalam perjalanannya usaha properti yang dijalani PT Selembaran Jati mengalami kemunduran dan kerugian.
"Semuanya rugi, ayah saya Pak Yusuf Ngadiman juga rugi."
Suryadi juga membantah telah menjual aset. Menurutnya, mereka menjual tanah yang bukan aset, melainkan barang dagangan perusahaan.
"Saya merasa tidak menjual aset. Kondisi pasar yang tidak bagus sehingga menimbulkan kerugian."
Pada tahun 2014, kata Suryadi, Yusuf Ngadiman mentransfer uang Rp 1 miliar dan Rp 4 miliar ke rekening Adipurna.
"Itu sudah kesepakatan bersama, Adipurna bersedia menjual sahamnya," kata Suryadi.
JONIANSYAH HARDJONO