TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Asosiasi Ilmuwan dan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) Azmi Syahputra menilai maraknya peredaran minuman keras atau miras oplosan yang menelan korban saat ini diakibatkan masih lemahnya dan kurang tegasnya aparatur hukum.
"Aparatur hukum setingkat unit kepolisian yang berfungsi sebagai mitra kamtibmas yang sering berkeliling di tengah masyarakat sebenarnya sudah tahu. Namun, karena seolah 'saling diam', jadi kurang peduli dengan fungsinya sebagai penegakan hukum atau harus berfungsi preventif dari sebuah peristiwa di masyarakat," katanya, yang juga pengajar Fakultas Hukum Universitas Bung Karno, kepada Antara di Jakarta, Senin malam, 16 April 2018.
Akibat aparatur tipe demikian atau dapat saja ada orang lain atau aparatur tertentu bisa menjadi pelindung bagi si penjual atau si pembuat minuman oplosan tersebut.
"Ini adalah berkaitan dengan uang besar, pemain mafia yang abadi, dan aparatur hukum terkadang rentan kena virusnya dengan mendapatkan kompensasi tertentu dari kegiatan penjual atau produksi minuman oplosan ini," ujar Azmi.
Baca: Polisi Temukan Lagi Miras Oplosan di Bekasi, Apa Kabar Brewok?
Karena itu, kata dia, selain memperkuat fungsi peran lingkungan masyarakat, langkah yang tepat adalah memberikan hukuman maksimal agar sistem peradilan pidana optimal dan sinergis sehingga ada kesatuan tindakan yang sama antara polisi, jaksa, dan hakim. Selain itu, agar pelaku penjual dan produsen miras oplosan dihukum setinggi-tingginya supaya jera.
Pasalnya, keberadaan minuman oplosan itu sangat membahayakan keamanan nasional dan terkait dengan kualitas sumber daya manusia Indonesia, "Maka diperlukan hukuman maksimal ditambah dakwaan yang berlapis dan optimal dari ancaman pembunuhan berencana, menjual tanpa izin, manipulasi pajak. Jerat pula dengan undang-undang pangan," ucap Azmi.
Tindakan tegas itu, kata dia, bertujuan agar pelaku penjual dan produsen berpikir sebelum melakukan kegiatan tersebut. "Maka perlu dibuat regulasi dan sanksi baru berupa sanksi seumur hidup dan sanksi denda maksimal bagi penjual dan yang memproduksi minuman oplosan ini karena melihat dampaknya yang menimbulkan kejahatan yang lebih besar dan merusak generasi bangsa," tuturnya.
Terlebih lagi, korbannya sudah banyak harus dirawat di rumah sakit, ada yang cacat, bahakan meninggal sehingga sanksi selain pidana penjara seumur hidup dan denda patut dikenakan.
Sebelumnya, Kapolda Jawa Barat Irjen Agung Budi Maryoto mengatakan jumlah korban yang tewas akibat miras oplosan di wilayah hukum Jawa Barat hingga saat ini mencapai 61 orang.
"Salah satu hal lain yang berkaitan dengan narkotika itu adalah miras dan hingga saat ini korban meninggal dunia akibat miras oplosan di Jawa Barat bertambah menjadi 61 orang. Itu hampir dua peleton," katanya di Bandung, Minggu, 15 April 2018.
Ditemui usai menjadi pembicara dalam talkshow kampanye bahaya narkoba yang diadakan Citilink Indonesia-Badan Narkotika Nasional, Agung mengatakan jumlah korban tewas akibat miras paling banyak ada di Cicalengka, Kabupaten Bandung. "Jadi 61 orang itu di antaranya ada yang di Cicalengka saja 42 orang, di Polrestabes Bandung 7, tambahan di Cianjur ada 2 orang, di Ciamis 1 orang, kemudian di Palabuhan Ratu, Sukabumi, itu ada 7 orang juga," ujarnya.
ANTARA