TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Luar Negeri (Kemlu) mencatat tindakan penipuan daring atau online scam dengan modus lowongan kerja ke luar negeri mencapai ribuan kasus. Nantinya korban bekerja tidak sesuai dengan perjanjian, tapi dipekerjakan sebagai scammer (penipu).
"Kalau kami hitung, sejak 2020 hingga bulan Maret 2024, total Kemlu dan perwakilan RI sudah menangani dan memulangkan total 3.703 (warga negara Indonesia) dari delapan negara," kata Direktur Perlindungan WNI Kemlu, Judha Nugraha saat ditemui Tempo di kantornya, Jakarta pada Selasa, 2 Juli 2024.
Kedelapan negara itu mayoritas berada di kawasan Asia Tenggara. Negara-negara tersebut adalah Kamboja, Myanmar, Laos, Vietnam, Thailand, Malaysia, Filipina, dan United Arab Emirates (UAE). "Yang paling banyak ada di Kamboja," ucap Judha.
Berdasarkan data Kemlu pada 2020 hingga Maret 2024, ada 1.914 WNI korban penipuan lowongan kerja yang kemudian diberangkatkan ke Kamboja. Selain itu, 680 korban serupa ada di Filipina, 364 korban di Thailand, 332 korban di Myanmar, 305 korban di Laos, 68 korban di Malaysia, 36 korban di Vietnam, dan 4 korban di UAE.
Dari data tersebut, Judha menuturkan, tidak semuanya merupakan kasus TPPO atau tindak pidana perdagangan orang. Sekitar 40 persen dari 3.703 kasus merupakan TPPO. Pada 2023, pihaknya mencatat ada 760 kasus TPPO.
Kendati kasus online scam terbanyak ada di Kamboja, dia melanjutkan, justru di Myanmar paling sulit penanganannya. Sebab, kebanyakan korban online scam dibawa ke Myawaddy.
"Myawaddy ini daerah di perbatasan Thailand dan Myanmar yang dikuasai oleh pemberontak etnis bersenjata. Banyak pemberontaknya, macam-macam di situ," ujar Judha.
Modus Online Scam
Judha menuturkan modus online scam berawal dari iklan lowongan kerja ke luar negeri yang disampaikan melalu berbagai media sosial. "Biasanya yang ditawarkan itu adalah sebagai customer service atau marketing dengan gaji US$ 1.000 sampai 1.200, sekitar Rp 18 juta-an lah."
Dia menuturkan bahwa pencari kerja tidak meminta kualifikasi khusus. Selain itu, tidak ada kontrak kerja dan tidak perlu visa. Korban hanya diminta langsung berangkat.
"Begitu sampai ke Kamboja, ke Myanmar, ke Laos, mereka langsung dibawa ke perusahaan, ke apartemen, biasanya kompleks, dikasih komputer, disuruh buat akun palsu," beber Judha.
Akun tersebut bermacam-macam, menampilkan perempuan maupun laki-laki menawan, tergantung siapa target mereka. "Biasanya modusnya adalah dengan love scam, dipacarin, didekatin, digoda-goda gitu lah," tutur Judha.
Kalau si korban scamming-nya curiga dengan identitas scammer, kata dia, perusahaan menyediakan orang untuk mengobrol. Setelah itu, scammer menawarkan jeratan.
Misalnya, melalui Shopee. Scammer akan menawarkan sebuah barang dengan cashback. Saat barang belum dikirim, scammer kembali menawarkan harga barang yang naik beserta nominal cashback yang lebih besar.
Setelah uang terkumpul banyak, komunikasi diputus dan akun dihapus. Uang tersebut dipindahkan. "Biasanya pakai kripto itu. Baru dia cari korban yang lain."
"Mereka diberikan target sekitar Rp 60 juta sebulan. Kalau tidak mencapai target, biasanya akan ada ancaman, kekerasan, dan sebagainya," tutur Judha.
Pilihan Editor: Komnas HAM: Indonesia Darurat TPPO Online Scamming