TEMPO.CO, Jakarta - Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, menyatakan bahwa penghentian penyidikan dalam kasus dugaan suap terkait perubahan fungsi hutan dilakukan setelah adanya putusan peninjauan kembali (PK) yang menguntungkan mantan Legal Manager PT Duta Palma Group, Suheri Terta.
Berdasarkan putusan PK itu, Suheri dinyatakan bebas atas vonis tiga tahun penjara. “Hal ini merupakan konsekuensi logis dari putusan PK dari salah satu terdakwa saudara ST yang dikabulkan. Hakim memutuskan saudara ST ini bebas,” kata Tessa Mahardhika di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa, 13 Agustus 2024.
Tessa menjelaskan bahwa dengan dibebaskannya Suheri Terta, KPK memutuskan untuk menghentikan proses penyidikan terhadap Surya Darmadi.
Namun, Tessa tidak merinci alasan terbitnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau SP3 terhadap Surya Darmadi.
KPK menyatakan kasus dugaan suap alih fungsi hutan di Riau yang menyeret bos PT Duta Palma Group Surya Darmadi dihentikan. Hal ini tertuang pada surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan oleh KPK.
"Dengan ini diberitahukan bahwa pada Hari Jumat, Tanggal 14 Juni 2024, telah dilakukan penghentian penyidikan dengan alasan tidak cukup bukti,” demikian tertulis dalam surat bernomor B/360/DIK.00/23/06/2024, dikutip Senin, 12 Agustus 2024.
Syarat Terbitnya SP3
Dilansir dari business-law.binus.ac.id, setelah seseorang ditetapkan sebagai tersangka, penyidik memiliki kewenangan untuk mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). SP3 ini dikeluarkan setelah ada penetapan tersangka. Dalam KUHAP, aturan mengenai SP3 hanya ditemukan dalam satu pasal, yaitu Pasal 109 ayat (2), yang menyatakan:
“Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka, atau keluarganya.”
Dari ketentuan tersebut, ada tiga alasan utama untuk penerbitan SP3:
- Tidak adanya cukup bukti untuk menuntut tersangka, atau bukti yang ada tidak memadai untuk membawa kasus ke pengadilan;
- Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana atau berada di luar yurisdiksi peradilan umum, dengan unsur pidananya sangat tipis, sehingga lebih sesuai dengan ranah hukum perdata;
- Penghentian penyidikan demi hukum karena adanya prinsip *Nebis in idem*, kematian tersangka, atau kadaluarsa sesuai dengan Pasal 78 KUHP.
Ketiadaan cukup bukti berarti penyidik tidak memiliki dua alat bukti yang sah untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Ini bisa membingungkan karena, pada tahap penetapan tersangka, penyidik seharusnya sudah memiliki dua alat bukti yang sah.
Jika alasan kurangnya bukti digunakan, ini berarti ada alat bukti yang dianggap tidak sah oleh penyidik, sehingga diterbitkanlah SP3 dengan pernyataan bahwa bukti yang digunakan untuk menetapkan tersangka tidak sah, tidak tepat, tidak akurat, atau bukan merupakan alat bukti yang sah.
Dilansir dari lbhsembada.id, dalam kasus yang telah diterbitkan SP3, kemungkinan besar penyidik mempertimbangkan salah satu dari tiga alasan yang disebutkan sebelumnya. Namun, kasus tersebut bisa dibuka kembali jika ditemukan novum baru, mengingat bahwa SP3 bersifat sementara dan bukan permanen. Novum dalam konteks ini bukan hanya sekadar alat bukti baru, tetapi harus berupa bukti yang mampu memenuhi unsur-unsur tindak pidana atau bukti baru yang dapat memperkuat dugaan terhadap tersangka.
Hal ini mungkin dilakukan karena secara hukum formal, SP3 tidak termasuk dalam kategori *Nebis in idem*, karena tidak merupakan putusan pengadilan, melainkan hanya keputusan yang diambil karena tidak terpenuhinya syarat formil pada tahap penyidikan.
SUKMA KANTHI NURANI | MUTIA YUANTISYA
Pilihan Editor: KPK Terbitkan SP3 Kasus Surya Darmadi, Bagaimana Kilas Balik Kasusnya?