TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) menilai penolakan DPR terhadap seluruh calon hakim agung dan hakim ad hoc hak asasi manusia (HAM) akan berdampak pada permohonan kasasi kasus Paniai.
"Menurut kami, pasti jelas menghambat penyelesaian perkara Paniai," kata Direktur Eksekutif LeIP Muhammad Tanziel Aziezi kepada Tempo, Kamis, 12 September 2024.
Tanziel mengatakan, hambatan itu bisa terjadi karena Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sudah mengatur secara jelas bahwa perkara kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida diadili oleh lima orang anggota majelis hakim. Tiga di antaranya harus merupakan hakim ad hoc HAM.
Mekanisme itu juga berlaku untuk perkara kasasi lain. "Jadi tidak kunjung terpilihnya tiga orang hakim ad hoc untuk tingkat kasasi, tentu menyebabkan tidak bisa diperiksa dan perkaranya terus menggantung."
Selain itu, ia melihat ada dampak lain yaitu menggantungnya terdakwa yang sudah diputus bebas oleh pengadilan tingkat pertama. Padahal, prinsipnya jelas bahwa setiap perkara harus segera diselesaikan untuk memberikan kepastian hukum.
"Terlebih, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak mengatur konsekuensi hukum apabila perkara tidak kunjung diputuskan oleh pengadilan," tuturnya.
Kendati demikian, ia menggarisbawahi memaksakan perkara Paniai diputus oleh hakim ad hoc yang tidak kompeten juga bisa menimbulkan masalah baru soal kualitas putusan. Ini mengingat jumlah hakim ad hoc menjadi mayoritas dalam majelis.
"Pelik memang kondisinya dan masalahnya karena penyelesaiannya juga tidak hanya bisa diselesaikan dengan aturan hukum," ujarnya.
Ia menyebut scholar di bidang HAM yang berkompeten masih sedikit yang mendaftar di setiap proses pendaftaran hakim ad hoc. Menurutnya hal ini juga perlu didorong agar diperoleh hakim ad hoc tingkat kasasi yang berkualitas.
Dalam kasus Paniai, Majelis Hakim Pengadilan HAM pada PN Makassar menjatuhkan vonis bebas terhadap Mayor Inf (Purn) Isak Sattu, terdakwa tunggal dalam perkara dugaan pelanggaran HAM berat di Kabupaten Paniai, Papua pada 7—8 Desember 2014.
"Mengadili, satu, menyatakan terdakwa Isak Sattu tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran HAM berat sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kesatu dan kedua," kata Hakim Ketua Pengadilan HAM Sutisna Sawati saat membacakan vonis di PN Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis, 8 Desember 2022, dinukil dari Antara.
Padahal, Isak Sattu dituntut pidana 10 tahun penjara. Ia juga didakwa melanggar Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b juncto Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (primair), dan Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b jo. Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 UU 26/2000 (subsidair).
Atas vonis bebas ini, Kejaksaan lalu mengajukan kasasi. Namun, kasusnya masih menggantung hingga saat ini.
Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM Abdul Haris Semendawai menyoroti penanganan kasus Paniai. Pemeriksaan di tingkat kasasi paling lama 90 hari, tapi hingga saat ini Mahkamah Agung (MA) belum memiliki hakim ad hoc HAM.
“Semakin lama kasus berjalan, maka salah satu asas hukum pidana tidak terpenuhi, yakni asas cepat dan biaya ringan," kata Haris pada 6 Februari 2024, dikutip dari laman komisiyudisial.go.id. "Asas cepat tidak terpenuhi karena kasusnya sudah dari tahun 2022 di tingkat kasasi."
Adapun kasus dugaan pelanggaran HAM berat Paniai terjadi pada saat pembubaran unjuk rasa oleh personel militer dan aparat kepolisian. Pada 8 Desember 2014, masyarakat Paniai berunjuk rasa di Polsek dan Koramil Paniai atas dugaan pemukulan warga oleh aparat sehari sebelumnya.
Aparat lantas melakukan pembubaran paksa dengan menembakkan peluru tajam kepada ratusan peserta unjuk rasa saat menyerang kantor Koramil setempat. Empat orang tewas dalam kejadian di Paniai ini, yaitu Alpius Youw, Alpius Gobay, Yulian Yeimo, dan Simon Degei. Selain itu, 10 orang lain terluka.
Pilihan Editor: Nawawi Pomolango Singgung Laporan Majalah Tempo soal Pelemahan KPK: Saya Rasa Benar