TEMPO.CO, Jakarta - Kadiv Propam Polri, Inspektur Jenderal Abdul Karim, menerima kedatangan sejumlah aktivis dan akademisi yang mendesak agar Kapolri bertanggung jawab atas tindakan brutal aparat kepolisian dalam menghadapi para demonstran di berbagai kota. Pertemuan tersebut diadakan di Mabes Polri pada Rabu, 28 Agustus 2024.
Usman Hamid, salah satu aktivis yang hadir, mengungkapkan bahwa pertemuan itu berlangsung dengan sejumlah penasihat ahli dan staf ahli Kapolri, termasuk Koordinator Staf Ahli Kapolri, Inspektur Jenderal Hadi Gunawan. Usman menjelaskan, pihaknya menyampaikan beberapa tuntutan kepada Kapolri, salah satunya, dia mempertanyakan kebijakan Polri dalam menangani demonstrasi.
“Kami mempertanyakan kebijakan Kapolri terkait penanganan unjuk rasa yang berlangsung di berbagai kota," ujar Usman saat ditemui di Mabes Polri, Rabu, 28 Agustus 2024. Dia menambahkan, setidaknya ada 12 kota yang mereka catat telah terjadi tindakan kekerasan oleh aparat, mulai dari Jakarta, Bandung, Semarang, Makassar, hingga Pekanbaru.
Usman menyoroti penggunaan kekuatan yang dianggap berlebihan oleh kepolisian, termasuk penggunaan water cannon, gas air mata, pemukulan, dan tindakan lain yang dianggap tidak manusiawi. “Tindakan tersebut bahkan bisa digolongkan sebagai penyiksaan,” kata dia.
Usman juga menyebutkan adanya banyak kasus penangkapan dan penahanan yang dilakukan secara sewenang-wenang. Dalam Beberapa advokat dari lembaga bantuan hukum dan organisasi masyarakat juga mengalami kesulitan mengakses para demonstran yang ditangkap, meskipun mereka memiliki hak untuk didampingi oleh kuasa hukum.
Menurut Direktur Amnesty International Indonesia, tindakan represif yang dilakukan oleh polisi di berbagai kota bukanlah keputusan yang diambil di tingkat lokal saja, melainkan kebijakan dari tingkat pusat, khususnya di Mabes Polri. “Kami mendesak Kapolri untuk mempertanggungjawabkan tindakan tersebut, dan jika perlu, mundur dari jabatannya,” kata Usman. Sebab, masih ada perwira tinggi lain yang dinilai lebih layak untuk memimpin Polri.
Pertemuan tersebut diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam menuntut pertanggungjawaban Polri dan membenahi cara aparat dalam menangani aksi demonstrasi secara lebih manusiawi.
Demonstrasi Kawal Putusan MK pecah di berbagai kota pada akhir pekan lalu. Di Jakarta, demonstrasi berakhir ricuh karena massa tak diperbolehkan masuk ke Kompleks Parlemen DPR RI. Polisi menangkap puluhan orang dan sudah menetapkan 19 diantaranya sebagai tersangka. Mereka terjerat pasal pengrusakan fasilitas umum.
Di Semarang, demo turunkan Jokowi di depan komplek Balai Kota dan Dewan DPRD Kota Semarang dibubarkan paksa oleh polisi pada Senin, 26 Agustus 2024. Polisi melontarkan gas air mata untuk membubarkan massa. Ada juga laporan mengenai penangkapan sejumlah demonstran, termasuk mahasiswa, yang dinilai melakukan tindakan provokatif.
Situasi serupa terjadi di Makassar. Demo gabungan mahasiswa se-Makassar menolak politik dinasti Presiden Jokowi itu berakhir ricuh di bawah flyover Jalan AP Pettarani, Makassar pada hari yang sama.
Kelompok massa ini merupakan gabungan dari mahasiswa ini terdiri dari Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM), Universitas Bosowa (Unibos), Universitas Negeri Makassar (UNM), beberapa Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP), dan kampus swasta lainnya.
Tindakan represif ini mendapat kritik keras organisasi masyarakat sipil dan akademisi. Mereka menilai bahwa pendekatan kekerasan oleh aparat tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga memperburuk situasi dan mengancam demokrasi. Respons keras dari aparat terhadap demonstran ini memicu kekhawatiran semakin semptinya ruang untuk menyampaikan aspirasi di Indonesia, terutama di tengah meningkatnya ketegangan politik belakangan ini.
Pilihan Editor: Kecam Sikap Brutal Polisi Hadapi Demonstran, Forum Guru Besar: Jangan Melukai Rasa Keadilan di Masyarakat