TEMPO.CO, Lombok - Tiga speedboat putih tiba di dermaga Gili Meno, pulau kecil di Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, pada Sabtu siang, 17 Agustus 2024. Sekitar 30 orang anggota tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun dari atas kapal dan berjalan menuju sebuah pendopo di tepi pantai.
Di sana, warga lokal, pegiat lingkungan, hingga pelaku usaha, sudah menanti kedatangan mereka. Tim gabungan dari Satuan Tugas Pencegahan dan Penindakan Direktorat Koordinasi dan Supervisi Wilayah V KPK itu memang telah berencana mengadakan audiensi dengan warga Gili yang terdampak krisis air. Warga mengeluh kesulitan mendapatkan air bersih selama empat bulan terakhir. Bagi warga Gili Meno, air bersih bukan sekadar kebutuhan dasar, tetapi juga tulang punggung usaha mereka.
Krisis air bersih bermula sejak PT Berkah Air Laut (BAL), pihak ketiga yang telah menyediakan air selama sekitar satu dekade, menghentikan operasionalnya. Perusahaan itu terlibat masalah hukum yang menyebabkan berhentinya pelayanan mereka. Kemudian, terdapat satu perusahaan swasta lain yang mengebor sumber air tanah di pulau tersebut. Warga menduga perusahaan swasta melakukan eksploitasi air tanah tanpa surat izin pengeboran. Mereka juga menilai perusahaan swasta telah merusak ekosistem laut akibat aktivitas pengeboran itu. “Saya ingin tahu, apa tindakannya terhadap perusahaan itu setelah mereka mulai mengebor di darat?” tanya seorang warga.
Tim gabungan Satuan Tugas Pencegahan dan Penindakan Direktorat Korsup wilayah V KPK saat melihat lokasi sumur bor milik PT. Berkah Air Laut di Gili Meno, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Sabtu, 17 Agustus 2024. TEMPO/Defara
Beberapa warga juga merasa tak terima dengan perlakuan berbeda antara masyarakat kecil yang dilarang keras mengambil karang, sementara perusahaan besar dibiarkan merusak ekosistem tanpa sanksi tegas. “Kenapa kita disanksi kalau ambil satu karang, tapi mereka boleh merusak tanpa ada tindakan?” tanya seorang pegiat lingkungan.
Kepala Satuan Tugas Korsup Wilayah V KPK Dian Patria yang memimpin jalannya audiensi menanggapi satu per satu keluhan warga. Tak jarang Dian mengajukan pertanyaan untuk menggali detail lebih lanjut. Merespons keluhan warga, Dian mengklaim KPK mencatat semua masukan dan keluhan dari masyarakat. Dia kemudian menutup diskusi dengan mengatakan bahwa mereka akan mempelajari dan menindaklanjuti semua laporan yang telah diterima. "Kita tunggu sama-sama hasilnya," katanya.
Usai pertemuan yang berlangsung tepat dua jam itu, tim KPK bergerak menuju lokasi galian sumur bor milik PT Tiara Cipta Nirwana (TCN) yang disebut-sebut belum mengantongi izin itu. PT TCN merupakan perusahaan swasta yang bekerja sama dengan Perusahaan Umum Daerah Air Minum (PDAM) Amerta Dayan Gunung, yang banyak disinggung warga. Mereka kemudian bergeser ke PT BAL untuk memperdalam pemahaman tentang dampak operasi perusahaan terhadap krisis air yang mengancam wilayah Gili, tak hanya Gili Meno, tapi juga Gili Trawangan. Kunjungan itu dilakukan untuk mendengar penjelasan dari petugas.
Tim KPK lantas menyambangi Gili Trawangan keesokan harinya. Kelompok yang dipimpin oleh Dian itu mendatangi lokasi pengeboran pipa bawah laut milik PT TCN di bagian utara Gili Trawangan. Proyek ini terlihat sudah disegel oleh Tim Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dalam plang berwarna merah itu, tertulis ‘Paksaan pemerintah, penghentian sementara kegiatan pemanfaatan ruang laut PT. Tiara Cipta Nirwana’. Penyegelan ini merupakan sanksi administratif karena PT TCN belum mengantongi izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).
Namun, dalam pendampingan KPK pada Ahad, 18 Agustus 2024 ini, ada indikasi bahwa PT TCN tetap menjalankan operasinya di lokasi tersebut. “Di Trawangan, diduga di lokasi yang sudah disegel pun mereka tetap bekerja. Jadi ada pelanggaran di atas pelanggaran,” kata Dian. “Kalau di Meno, Pemda bilang izinnya sedang diurus buat Portable Reverse Osmosis, tapi di lapangan sudah ada kegiatan. Berarti sama dengan kegiatan tanpa izin.”
KPK menemukan indikasi adanya dugaan pelanggaran dalam proses perizinan antara pemerintah dan PT TCN sebagai penyedia air bersih di Gili Trawangan dan Gili Meno. Temuan ini mengungkap adanya anomali dalam pengelolaan sumber daya air yang tidak hanya memperburuk krisis, tetapi juga menimbulkan potensi dugaan terjadinya korupsi. “Praktik ini tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga menciptakan monopoli yang merugikan masyarakat dengan harga air yang tidak wajar dan pelayanan yang buruk,” ujar Dian.
Aktivitas yang dilakukan PT TCN ini juga dilaporkan telah menimbulkan kerusakan lingkungan berupa rusaknya terumbu karang di Gili Trawangan seluas 2.360 m² pada Juli 2024. Hal ini disampaikan oleh Koordinator Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang Wilayah Kerja Taman Wisata Perairan Gili Meno, Air, dan Trawangan, Martanina Nonik. Menurut dia, kerusakan ini merupakan akibat pencemaran limbah oleh PT TCN.
Tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dipimpin oleh Kasatgas Koordinasi dan Supervisi Wilayah V KPK Dian Patria (kiri) melakukan inspeksi mendadak ke lokasi pengeboran pipa bawah laut milik PT Tiara Cipta Nirwana di Gili Trawangan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Ahad, 18 Agustus 2024. TEMPO/Defara
Bahkan, indeks kesehatan terumbu karang menunjukkan angka penurunan cukup dalam. Dari nilai 38% dengan kategori kesehatan cukup baik, setelah adanya pengeboran oleh pihak swasta tersebut, indeks ini langsung menurun ke angka 2% dan masuk kategori sangat buruk. “Operasional perusahaan ini juga berdampak signifikan pada kegiatan wisatawan yang berlibur ke Gili Trawangan, di mana itu merupakan lokasi spot diving yang diminati oleh masyarakat maupun wisatawan yang ada di sana,” kata Nonik.
Salah satu pelaku usaha Gili Meno, Kamri, juga mengeluhkan krisis air yang melanda wilayahnya. Kamri menggambarkan bagaimana dampak langsung dari krisis air ini terasa. Beberapa wisatawan mancanegara bahkan membatalkan kunjungan mereka ke Gili Meno setelah mendengar berita tentang kekurangan air di pulau itu. “Mereka sudah sampai di Gili Trawangan atau Gili Air, tetapi tidak jadi ke sini setelah mendengar kabar itu,” tuturnya. Sebagai bentuk protes, Kamri dan warga setempat bahkan melakukan aksi ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, berharap pemerintah daerah bisa menawarkan solusi yang lebih baik. Namun, hingga kini, menurut Kamri, yang mereka dapatkan hanyalah janji-janji.
Melalui mediasi yang dilakukan dengan Korsup V KPK, Kamri berharap aspirasinya serta warga Gili Meno lainnya dapat didengar oleh pihak berwenang. “Supaya diperhatikan oleh pihak-pihak yang berkewajiban untuk memenuhi apa yang menjadi kebutuhan masyarakat Gili Meno,” ucap dia.
Dian menjelaskan sebenarnya ada solusi untuk mengatasi krisis air tanpa merusak ekosistem laut. "Sumber daya air di Lombok Utara ini sebenarnya surplus. Harusnya masalah di tiga Gili ini bisa diselesaikan. Pemerintah Kabupaten Lombok Utara sudah memasang pipa bawah laut dan mendistribusikan air bersih PDAM ke Gili Air. Pipa ini bisa disambungkan ke Gili Meno dan Gili Trawangan, sehingga masalah air bisa selesai tanpa perlu pihak ketiga yang mengganggu ekosistem laut," kata Dian.
Dia juga menunjukkan perbedaan mencolok dalam harga air bersih antara Gili Air dan dua pulau lainnya. Di Gili Air, air bersih hanya dihargai Rp 4.000 per m³, sedangkan di Gili Meno dan Gili Trawangan, harga air mencapai Rp 35.000–Rp 40.000 per m³. "Pemerintah seharusnya hadir di sini, jangan hanya menyerahkan air pada pihak ketiga. Air merupakan hak dasar bagi masyarakat," tutur Dian.
KPK, kata Dian, berkomitmen untuk terus melakukan koordinasi dan supervisi di wilayah Nusa Tenggara Barat, termasuk sektor perizinan, untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Dian juga mengimbau masyarakat untuk tetap bersuara dan melakukan perlawanan, serta aktif mengawasi dan melaporkan segala bentuk penyimpangan yang terjadi di lapangan. "Kami monitor. Apa yang bisa kami dorong, kami dorong. Kalau memang ada celah kriminal, korupsi, ya kami upayakan."
Dalam permasalahan ini, KPK mengaku sudah mengundang dan berdialog bersama Sekda Provinsi NTB Lalu Gita Ariadi, Inspektur Inspektorat Provinsi Nusa Tenggara Barat Ibnu Salim, Sekda Kabupaten Lombok Utara Anding Duwi Cahyadi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, BKKPN Kupang, hingga PSDKP Benoa. Pertemuan ini dilakukan dalam Rapat Koordinasi Tindak Lanjut Penertiban Aset, Optimalisasi Pajak dan Perbaikan Layanan Publik di Gili Tramena sehari sebelum pendampingan lapangan.
Terkait dengan sengkarut krisis air di wilayah Gili yang melibatkan PT Tiara Cipta Nirwana, Tempo sudah berupaya menghubungi dan meminta penjelasan dari Direktur Utama PT TCN, I Made Gede Putrayasa. Namun, Gede enggan dikutip secara langsung dalam berita atau laporan media, dengan alasan bahwa dia hanya akan memberikan penjelasan agar tidak terjadi kesalahpahaman. Sementara Pemkab Lombok Utara tidak membalas pesan maupun panggilan yang Tempo lakukan. Meski demikian, Asisten II Bupati Lombok Utara mengaku pihaknya telah turun langsung ke lokasi untuk melihat situasi terkini. “Intinya sudah diklarifikasi saat tim di lapangan,” ujarnya, Kamis, 29 Agustus 2024.
Pilihan Editor: KPK Sebut Kaesang Bisa Berurusan dengan Ditjen Pajak soal Jet Pribadi