Pada pukul 10.00, Hawariah pergi untuk mengantar anaknya ke sekolah di seberang Stasiun Depok Baru, sekitar 150 meter dari tempat penggusuran. Hawariah tersentak ketika tetangganya berteriak rumahnya akan dibongkar. Ia pun berlari tunggang-langgang kembali pulang.
Benar saja, di dalam rumah bercat putih cokelat itu terdapat beberapa petugas yang mengeluarkan barang-barangnya dengan paksa. "Saya tanya, mau dibawa ke mana barang saya? Mereka tidak mempedulikan," katanya.
Hawariah pun hanya bisa berteriak histeris dengan anaknya saat perabotan rumahnya dikeluarkan. "Semua barang-barang saya rusak, bahkan kompor (gas) yang masih menyala ditarik langsung tanpa dimatikan dulu," katanya. Hawariah menyatakan baru kali itu melihat kekejaman manusia yang tidak memikirkan nasib orang lain. "Benar-benar bukan manusia lagi."
Hati Hawariah semakin pilu melihat rumahnya dihantam alat berat hingga dindingnya hancur. Atap rumah yang selama ini melindungi keluarganya dari sengatan matahari dan hujan itu roboh seketika. Hawariah hanya bisa menangis dan berpelukan dengan anaknya. "Sumpah dan ratapan kami sudah tidak ada gunanya. Kami diseret keluar," katanya. Hari itu, seharian Hawariah hanya duduk melamun di tepi lokasi penggusuran sambil menunggu suaminya pulang.
Awalnya, Hawariah dan keluarga kebingungan karena tak punya tempat tinggal. Suaminya adalah warga Depok yang lahir dan tinggal di lahan seluas 2.385 meter persegi yang kini ditempati terminal. Kini, keluarganya tinggal di rumah teman anaknya di wilayah Citayam. "Kami menumpang di rumah teman anak saya," katanya.