TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengkaji wacana legalisasi dan lokalisasi pelacuran. "Ada ide dari Pak Gubernur (Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok), kalau bisa, ada satu tower apartemen yang dilegalkan untuk urusan-urusan itu," kata Saefullah saat ditemui di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Senin, 27 April 2015.
Menurut Saefullah, lokasi prostitusi itu belum ditentukan. Wacana tersebut, menurut dia, masih perlu mendapatkan tanggapan dari masyarakat secara umum. Hal yang masih dilakukan pemerintah saat ini adalah pendataan dan penertiban para penghuni apartemen dan rumah susun.
Selain berencana melegalkan prostitusi di satu tempat khusus, pemerintah DKI akan memberikan sertifikat bagi pelaku prostitusi. "Pemberian sertifikat seperti di Filipina. Jadi kalau memang profesinya itu, dia punya sertifikat," ujar Saefullah.
Saefullah menegaskan, pemerintah DKI melihat pelacuran sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Jakarta. "Agar sampah tak bercecer di mana-mana, satu tempat khusus untuk transaksi dan aktivitas prostitusi penting diadakan," katanya.
Saefullah mengakui bahwa wacana tersebut pasti akan menuai pro dan kontra. Lokalisasi prostitusi, menurut dia, bukan hal baru di Jakarta. Pada 1970 hingga 1990-an, Jakarta pernah memiliki lokalisasi pelacuran Kramat Tunggak di Kramat Jaya, Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Saat itu Jakarta dipimpin Gubernur Ali Sadikin. Lokalisasi tersebut bahkan menjadi kompleks pelacuran terbesar di Asia Tenggara. Kala itu jumlah pelacur di Kramat Tunggak lebih dari 2.000 di bawah kendali sedikitnya 258 muncikari alias germo.
Lokalisasi Kramat Tunggak menjadi sumber penghidupan lebih dari 700 pembantu pengasuh, 800 pedagang asongan, dan 155 tukang ojek. Belum lagi tukang cuci dan pemilik warung makan yang bertebaran di sekitarnya. Lahan lokalisasi itu terus berkembang hingga 12 hektare. Namun, pada 1999, atas ide Gubernur DKI Sutiyoso, lokalisasi ini ditutup dan di lahannya dibangun Jakarta Islamic Centre.
AISHA SHAIDRA